Minggu, 30 Januari 2022

Terima Gajih Pak Menteri

Gambar koleksi pribadi

Satu tahun sejak dana BOS diluncurkan pemerintah, tepatnya tahun 2006, saya ditunjuk menjadi bendahara oleh kepala sekolah menggantikan pemegang kas yang mengalami mutasi saat itu.

Meminjam istilah Syahrini, belasan tahun menjadi bendahara dapat disebut sebagai "sesuatu". Sesuatu yang menggambarkan bahwa ada kepercayaan berumur panjang yang dibebankan ke pundak saya oleh sekolah. Tiga kali pergantian kasek, dan ketiganya meletakkan tanggungjawab keuangan itu sebagai bagian dari wewenang saya. Dan saya menikmatinya. Menikmati tanggung jawab bukan uangnya.

Menjadi bendahara bukan hanya soal membelanjakan duit semata. Dimensi paling penting adalah bagaimana merencanakan dan menggunakan uang itu secara hati-hati. Prinsip kehati-hatian bukan terletak pada besar kecilnya perolehan dana BOS sebuah sekolah. Prinsip itu menyiratkan kesepakatan bersama, keterbukaan, kejujuran, dan efesiensi pembelanjaan. 

Jika didasarkan pada kebutuhan sekolah penerimaan tidak akan pernah mampu menutupi semua kebutuhan secara paripurna. Ibarat menenggak air laut kerongkongan akan makin dahaga. Artinya, berapapun nilai penerimaan tidak akan pernah memuaskan. Selalu ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Dalam konteks ini maka skala prioritas menjadi cara terbaik dalam penyusunan anggaran.

Salah satu point paling dilematis bagi saya sampai tahun 2019 adalah pembayaran gaji honorer. Di satu sisi penerimaan sekolah dari dana BOS tergolong kecil. Di sisi lain sekolah memiliki 4 orang guru honor. Sementara persentase pembayaran honor maksimal 15% dari penerimaan. Dengan jumlah siswa setiap tahun hanya berkisar 80-90 orang, sekolah hanya boleh membayar honor/bulan antara 800 sd 900 ribu perbulan untuk 4 orang guru honor. Kalau dibagi 4 hanya 200-225 rb/perorang/perbulan.

Saya curiga inilah awal kebotakan saya. Saya dan kepala sekolah harus memeras otak untuk mengucurkan bayaran lebih dari batas maksimal atas belanja pegawai. Saat bendahara berhak menerima insentif sebagai pengelola dana Bos, saya tidak mengambilnya dan saya sisihkan untuk membayar honor lebih tersebut. Juga sebgian uang transport untuk kegiatan dinas kepala sekolah ke luar sekolah tidak diambilnya. Berbagai rapat yang membolehkan makan dan minum berupa nasi diganti secangkir kopi atau teh dan satu dua gorengan. Inilah alternatif masuk akal yang bisa dilakukan sekolah.

Saya mengapresisi kenaikan dana BOS tahun 2020 sekaligus kenaikan porsi pembayaran honor untuk rekan-rekan honorer yang meloncat tinggi dari 15% menjadi 50%.

Terima gajih Pak Menteri.

Tayang tgl 20 Februari 2020 pada: https://www.facebook.com/100004318352255/posts/1809451415875453/


 

Jumat, 28 Januari 2022

Pertemuan ke-6 Belajar Menulis (Menulis Buku dari Karya Ilmiah)

 



Dua perempuan cantik memperlihatkan kesan ramah menghiasi poster pengumuman jadwal pertemuan ke-6 Pelatihan Belajar Menulis Gelombang 23-24, ketika saya membuka WAG Belajar Menulis 24 PGRI, yang digagas Om Jay (Wijaya Kusumah). Waktu menunjukkan pukul 16.15 wita ketika saya membuka WAG. Dalam poster tersebut terbentang nama Noralia Purwa Yunita, M. Pd, dengan peran sebagai narasumber. Nama lainnya Raliyanti pada posisi sebagai moderator.

Sebelumnya saya sendiri dan (mungkin) semua peserta pelatihan belum pernah bertatap muka secara langsung dengan narsum dan moderator. Namun saya "mengimani" anggapan saya bahwa sosok yang diberikan mandat memberikan bimbingan Belajar Menulis memiliki kompetensi yang mumpuni di bidangnya.

Sebuah frase warna merah saga di atas poster tertulis "Membuat Buku dari Karya Ilmiah". Saya memastikan bahwa, kalimat yang sewarna dengan frame kacamata moderator, itu adalah topik pelatihan pertemuan ke-6.

Malam ini “keimanan” saya terhadap sosok narsum menguat sampai ke sumsum paling inti. Perubahan psikologis ini terjadi ketika saya membaca Curriculum Vitae narsum yang menjelaskan tentang prestasi dan karyanya, sesaat setelah moderator membagikan link absensi peserta dan menyampaikan susunan acara.



Dalam file tersebut jelas tertulis nama narsum, Noralia Purwa Yunita, M. Pd., seorang perempuan muda kelahiran pertengahan 1989 di Kudus, Jawa Tengah, sebuah tempat yang dikenal sebagai penghasil rokok. Bu Yunita, Bu Noralia, atau mungkin juga disapa Bu Purwa adalah seorang guru yang mengajar di SMPN 8 Semarang. Lebih dari seorang guru, narsum juga seorang penulis dan blogger. Hal yang menarik ternyata narsum juga alumni Belajar menulis asuhan Om Jay.

Malam ini saya membayangkan riuh tepuk tangan peserta pelatihan, ketika moderator dengan suara lantangnya mempersilakan narsum mulai menyampaikan materi. Pada saat yang sama, narsum menyambut tepuk tangan itu dengan lambaian tangan dan senyum ramah.

Setelah menyampaikan kalimat pembuka narsum mulai menyampaikan materi inti. Narsum memancing peserta dengan pertanyaan retoris tentang karya ilmiah sebagai topik utama pelatihan. 

“Apa itu karya ilmiah?”

Setiap lulusan perguruan tinggi strata-1 tentu pernah membuat tugas itu, tugas karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Mahasiswa S-2 pun demikian. Penuntut ilmu program magister ini harus membuat karya tulis berupa tesis. Pada program doktoral atau S3 tetap berlaku karya ilmiah dalam bentuk desertasi. Seorang guru ASN juga secara berkala dituntut memiliki karya ilmiah sebagai persyaratan naik pangkat.

Dari fakta ini lalu Bu Noralia membuka cakrawala berfikir peserta bahwa semua karya ilmiah itu hanya menjadi sebuah karya yang tidak pernah dijamah dan diketahui orang lain. Bahkan pemilik karya ilmiah itu sendiri mungkin saja tidak pernah membukanya.

Narsum lalu menggiring cara berpikir peserta kepada sebuah ide bahwa diperlukan tindakan “inovatif” terhadap karya yang dihasilkan itu. Tindakan “inovatif” itu adalah dengan mengkoversi karya ilmiah itu menjadi sebuah buku yang dapat dikonsumsi masyarakat luas. 

Buku hasil konversi tersebut akan memiliki nilai tambah. Buku akan tersebar dan dapat dibaca khalayak dan memberikan keuntungan finasial kepada penulisnya karena diperjualbelikan. Bagi ASN, buku dapat dijadikan publikasi ilmiah yang dapat menambah poin angka kredit dengan mengkonversi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menjadi tulisan publikasi ilmiah. Lebih dari itu, makin banyak pembaca yang menkonsumsi buku tersebut akan membuat popularitas penulis melambung. Hal yang lebih penting adalah sebaran ilmu pengetahuan dalam tulisan akan lebih luas.

Saya merasakan gairah dan ketidaksabaran peserta untuk memahami cara menghasilkan karya ilmiah menjadi buku. Gairah dan ketidaksabaran itu mulai terakomodir ketika Miss Nora (saya tahu sapaan ini dari pertanyaan seorang peserta) menyampaikan teknik atau cara mengubah karya tulis menjadi buku yang siap produk.

Tindakan yang dilakukan dalam proses konversi itu adalah dengan mengubah format karya ilmiah menjadi buku. Perubahan itu mencakup perubahan judul dan daftar isi. Aspek yang harus dipertahankan dalam perubahan itu adalah esensi tulisan. Di samping itu, harus ada sisipan tentang pengetahuan paling mutakhir. Saya memahami ini sebagai upaya untuk mencegah munculnya kesan bahwa buku tersebut merupakan tulisan lama yang baru diproduksi.

Pada aspek kebahasaan, narsum memberikan eksplanasi bahwa sebuah buku memiliki gaya penulisan yang berbeda dengan karya tulis. Gaya penulisan buku lebih fleksibel daripada penulisan karya ilmiah. Di sinilah karekter tulisan seorang penulis dapat dilibatkan secara maksimal. Penulis dapat menggunakan gaya bahasa khasnya. Dalam kalimat lain penulis dapat menggunakan kemampuan imaginernya dalam tulisan tetapi dengan jaminan bahwa pembaca tetap memahami substansi tulisannya. Dalam konteks ini, narsum menyarankan agar menggunakan teknik parafrase. Teknik parafrase dilakukan dengan menyusun kalimat menggunakan kata-kata penulis sendiri, tanpa mengubah arti aslinya dan juga tidak menghapus informasi apa pun. https://ascarya.or.id/cara-parafrase/

Di akhir penyampaian materi Miss Nora menegaskan bahwa  membuat  buku dari karya ilmiah bukan berarti hanya mengubah bungkus dan judul saja dan membiarkan isi buku sama dengan karya tulis yang telah dibuat. Hal ini merupakan kesalahan karena akan menjadi self plagiarisme untuk sebuah karya. 

Karya tulis yang telah ada harus mengalami perubahan sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya kesamaan struktur antara buku dan karya tulis. kurang lebih inilah  closing statement Narsum diakhir penyampaian materinya.

Pada sesi tanya jawab, sejumlah pertanyaan mengalir. pertanyaan itu membuktikan gairah peserta dalam mengikuti pelatihan. Ada pertanyaan yang masih berhubungan dengan teknik konversi, struktur buku, dan unsur-unsur lain yang berhubungan dengan prosedur penulisan buku.

Seorang peserta mengajukan pertanyaan agak berbeda dari topik utama. Pertanyaannya menyangkut perbedaan keuntungan penulis buku non-fiksi dan fiksi yang memilih jangkuan konsumen yang berbeda.  Saya seolah melihat seulas senyum pada bibir narsum dan berkata, 

"...Tiap genre buku baik itu fiksi atau non fiksi, pasti memiliki para pembacanya tersendiri bu.. Buku-buku fiksipun banyak jenisnya, ada novel, kumpulan cerpen, puisi, dll yang biasanya dibaca saat kita ingin relax, memperkuat daya imajinasi, meningkatkan motivasi, atau hanya sekedar hiburan semata. 
Buku non fiksi pun juga sama, pasti tetap ada pembacanya. Contohnya saja jika kita ingin mengajar, tidak lepas dari bahan bacaan buku non fiksi. Ketika kita ingin membuat PTK misalnya, pasti mencari buku non fiksi. ..."

Pertanyaan lainnya tentang kendala dan tantangan dalam menulis buku. Ada pula yang bertanya tentang teknik mengembalikan file dalam komputer yang telah mengalami kerusakan karena virus. Pertanyaan paling klasik adalah bagaimana menyelesaikan tulisan  ketika berhadapan dengan tugas lain yang besifat mendesak.

Saya sendiri tidak bertanya. Saya hanya mengajukan permohonan agar materi Pelatihan Menulis pada pertemuan ke-6 malam ini dapat dibagikan dalam bentuk softfile.


Lombok Timur, 28 Januari 2022

Kamis, 27 Januari 2022

Pertemuan ke 5 BM 24 (Menulis membuatku naik kelas dan berprestasi)

 



Saat moderator, Pak Dail Ma’ruf, mengirimkan jadwal pelatihan Belajar menulis PGRI pertemuan ke 5, saya sedang berhadapan dengan layar komputer untuk melihat dan menyelesaikan tugas-tugas yang belum disempurnakan

Di pangkuan saya si bungsu baru saja menyudahi perilaku hiperaktifnya. Setiap hari ada saja tingkahnya yang menguji kesabaran saya sebagai seorang ayah. Seringkali saat sedang menyelesaikan sesuatu yang bersifat mendesak, dia minta dibukakan youtube, memperbaiki sepedanya, atau mengajak saya naik motor di atas aspal depan rumah yang sudah mulai koyak. 

Saban hari saya mendengar ibunya teriak histeris khawatir melihat sejumlah aksi berbahaya yang dilakukan untuk anak seusianya--naik dan melompat dari meja setinggi 60-70 cm, memacu sepedanya dengan memanfaatkan gaya gravitasi bumi di punggung halaman kakeknya yng miring, atau memanjat jendela  dengan berpegangan pada teralis lalu melompat ke belakang bak atlet parkour.

Gambar koleksi pribadi

Saya benar-benar lupa bahwa hari ini Rabu, 26 Januari 2022. Saya kira hari ini hari Selasa. Inilah salah satu kelemahan saya. Lupa. Ini sudah melampaui batas toleransi. Kalau diberikan peringkat, tingkat lupa saya sudah mencapai tahap akut. Namun, ada tiga benda yang jarang saya lupakan dalam hidup saya. Benda itu adalah rokok, kacamata (karena selalu bertengger di hidung), dan smartphone.

Dalam beberapa tarikan asap rokok*) saya biarkan anak saya pulas dalam pangkuan saya sampai dia benar-benar berada di alam bawah sadarnya. Saya mengelus kepalanya agar tidur lebih pulas. Yakin bocah yang baru memasuki usia empat kala revolusi bumi itu telah berada di alam bawah sadar secara paripurna, saya bangkit perlahan dari kursi hidrolik tempat saya biasa bekerja dan berselancar di alam maya. Si Bungsu, yang lahir dan sempat menjadi anak tenda saat gempa menjadi trend bencana di Lombok tahun 2018, tetap pulas dalam timangan saya. Saya berjalan perlahan beberapa langkah menuju kasur di ruang tengah tempat saya biasa rebahan sambil nonton tv sampai jauh malam.

Si bungsu saya tidurkan. Beberapa gerakan bolak balik badan membuat saya harus membelai kepalanya agar benar benar tidur. Setelah tidak ada gerakan lagi, saya kembali ke kursi hidrolik dan berhadapan lagi dengan komputer.

Notifikasi WAG BM 24 sudah ramai. Moderator mulai membuka pelatihan. Pak Dail, sang Moderator, memperkenalkan narasumber. Saya membayangkan Pak Dail sedang berdiri di depan peserta dan membuka pelatihan secara berapi-api, dengan kalimat “agitatif”, membakar semangat belajar peserta. 

Pak Dail lalu memperkenalkan Narasumber, Bu Aam Nurhasanah, melalui tayangan profil dalam blog narsum sendiri. Secara keseluruhan, saya mengacungkan jempol untuk Narsum setelah membaca profilnya. Saya yakin narsum bukan sosok yang cepat menyerah. Prestasi yang diraih ternyata dimulai dari kegiatan seperti yang saya ikuti pada kesempatan ini. Riwayat karir narsum menunjukkan bahwa yang bersangkutan pembelajar cepat, memiliki disiplin tinggi, dan cerdas melihat peluang. Karakter itu ditunjukkan dengan tumpukan hasil karyanya. Anak asuh Om Jay memang hebat. Melalui link https://aamnurhasanah12.blogspot.com/2021/01/intip-profilku-yuks.html, Bu Aam telah menunjukkan bukti keseriusannya dalam berkarya.

Tidak saja berkarya, narsum juga dipercaya sebagai kurator, editor, dan bahkan narasumber seperti malam ini. Ternyata tidak mudah mencapai prestasi semacam ini. Narsum memberikan kunci keberhasilan yang dimulai dari rasa percaya diri. Hal ini paling mendasar karena dapat menghapus keputusasaan dan rasa rendah diri. Hal lain yang tak kalah penting adalah cara pandang seseorang dalam menulis. Aktifvitas menulis sebaiknya tidak dijadikan sebuah beban melainkan sebuah media dimana seseorang dapat menemukan gairah hidup. Melalui tulisan seseorang dapat membuat prasasti tentang dirinya, tentang pikran dan perasaannya, dan tentang berbagai hal positif yang dapat disampaikan kepada orang lain.

Point utama yang perlu diperhatikan, menurut Narsum, adalah ketika dihadapkan pada sejumlah pilihan tugas dan tanggung jawab. Diperlukan kemampuan untuk membuat analisis skala prioritas, mana tugas yang harus segera diselesaikan.

Lalu bagaimana menemukan ide? Baris pertanyaan ini muncul dari salah satu peserta. Dengan ringan Narsum menjawab bahwa ide terhampar di mana-mana. Gagasan ada dalam anggota keluarga, alam sekitar, dan lingkungan sosial. 

Satu hal yang penting adalah banyak membaca. Penulis memerlukan banyak referensi dari karya orang lain. Di era digital saat ini sumber bacaan melimpah. Dengan modal sedikit kuota seseorang dapat berselancar pada ruang “perpustakaan global” tanpa harus beringsut dari tempat duduknya. Perpusatakaan itu adalah internet.

Di ujung resume ini saya berkesimpulan bahwa seorang penulis harus membangun karakter pribadimya. Penulis harus memiliki kepercayaan diri yang kuat, displin diri yang tinggi, semangat belajar menjulang, banyak membaca (tidak saja buku tetapi juga lingkungan). Semua dimensi itu dapat dibangun melalui belajar, mencoba bangun kembali setelah terjerembab. 

*) Catatan : Saya tidak sedang merokok saat si bungsu dalam pangkuan saya. Tarikan asap itu hanya ukuran waktu.

Rabu, 26 januari 2022

Rabu, 26 Januari 2022

Peresean, Adu Cambuk dalam Sportivitas

sumber gambar https://bit.ly/3g02UlY


Peresean atau perisean merupakan sebuah olah raga ekstrem yang sudah berkembang sejak abad ke 13 pada masyarakat Sasak (Lombok). Olahraga ini merupakan pertarungan dua laki-laki dengan senjata tongkat yang terbuat dari rotan (penjalin: Sasak). Petarung dalam budaya adu cambuk ini dilengkapi dengan ende (perisai) atau pelindung yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang telah mengeras.Petarung itu disebut pepadu. https://id.wikipedia.org/wiki/Peresean

Pertarungan peresean dilakukan di ruang terbuka. Peresean dipimpin pekembar (wasit). Pepadu dipilih secara acak oleh pekembar pada saat peresean digelar. Saat bertarung pepadu mengenakan ikat kepala, tanpa baju, dan kain yang dililitkan di pinggangnya. Peresean berlangsung selama 3-4 ronde untuk setiap pertarungan. Aturan main peresean paling penting adalah pepadu hanya memperbolehkan menyerang lawan pada anggota tubuh dari pinggang ke atas. Saat pertarungan berlangsung, kelompok penabuh gamelan memainkan alat musik khusus peresean yang menyulut semangat keberanian dan membakar ambisi meundukkan lawan.

Pertarungan akan berakhir jika salah satu petarung mengalami “pecok”. “Pecok” adalah sebuah kondisi pendarahan pada petarung karena terkena pukulan pada bagian kepala. Jika berhasil membuat lawan “pecok” maka seorang pepadu dianggap sebagai pemenang. Pada saat yang sama, pepadu yang “pecok” akibat pukulan lawan dianggap kalah. Pertarungan juga dapat dihentikan jika salah satu pepadu mengalah apabila merasa tidak kuat melanjutkan peresean atau pertarungan dihentikan pekembar.

Menurut para tetua dan cerita turun menurun, di masa lalu peresean merupakan sebuah ritual yang disakralkan. Dalam masyarakat sasak, peresean merupakan ritual minta hujan saat mengalami kemarau. Itu sebabnya, peresean dilaksanakan pada ujung musim kemarau. Sekarang peresean tidak lagi menjadi ritual tetapi tetap menjadi salah satu tradisi bela diri yang terus dikembangkan. Bahkan pemerintah mendukung pengembangannya dengan menyelenggarakan event pada level daerah. Semua pepadu terkenal dari berbagai tempat di Lombok diundang untuk meramaikan event tersebut.

Anak-anak sasak di masa lampau akrab dengan peresean. Saya ingat betul, keindahan masa kecil saya diwarnai dengan peresean. Senjatanya tentu bukan penjalin tetapi pelepah pisang yang telah kering. Sebagian dari anak-anak yang mampu bertahan dari rasa sakit, sepakat menambahkan sapu lidi ke dalam pelapah pisang agar senjata lebih keras. Ende atau perisainya bisa apa saja. Pilihannya bisa sarung yang digulung pada lengan kiri, anyaman bambu yang yang dirancang seperti sebuah perisai, atau nyiru tak terpakai yang dimodifikasi menjadi ende. Dari sinilah pepadu itu tumbuh. Saat beranjak remaja mereka mulai tampil pada peresean antar kampung. Demikian seterusnya sampai pada skala peresean yang lebih besar.

Menjadi pepadu peresean tidaklah mudah. Sebagaimana olahraga ekstrem pada umumnya pepadu harus memiliki nyali dan kemampuan bertahan dari rasa sakit. Pecok bagi seorang pepadu biasa. Mereka harus siap menerima bilet (bekas pukulan cambuk, dan sejenisnya). 

Seagaimana kepercayaan masyarakat masa pra-industri pada umumnya, seorang pepadu biasanya membekali diri kemampuan mistis yang dipercaya mampu menggandakan energi dan menyedot energi lawan. 

Tidak ada seleksi formal yang membawa seorang laki-laki suku Sasak untuk mendapatkan predikat pepadu. Tidak ada sasana tempat menempa diri dan tidak ada sertifikasi pepadu. Seorang petarung peresean “dinobatkan” sebagai pepadu benar-benar melalui “seleksi alam”. Pepadu belajar memukul lawan di ruang pertarungan sesungguhnya. Belajar dan bertarung menjadi satu kesatuan. Pepadu berlatih di arena sekaligus bertarung menggunakan penjalin. Pepadu beraksi di arena pertarungan sambil belajar memaksimalkan memainkan perisai (ende), meningkatkan kemampuan berkelit, dan belajar bagaimana membuat lawan “pecok”. Makin sering seorang pepadu terlibat dalam pertarungan makin piawai dia memainkan penjalin, menggunakan ende, dan menaklukkan lawan. Tidak seperti olahraga ekstrem pada umumnya, saat akan mengikuti sebuah peresean pepadu tidak perlu berlatih karena mereka telah terlatih. Pepadu kawakan bahkan selalu siap turun arena kapan saja mereka diminta bertarung.

Pepadu peresean tidak saja memiliki kemampuan menyerang dan bertahan. Mereka juga melengkapi diri dengan kematangan emosional. Saat bertarung dua pepadu memiliki ambisi yang sama–menundukkan lawan, meninggalkan bilet pada tubuh lawan, atau membuat pecok atau mengucurkan darah pada pepadu lawan. Tetapi di luar arena ketika pertarungan usai dua pepadu dapat ngopi, merokok, dan makan bersama. Di sinilah sportivitas peresean dijunjung tinggi. Dalam arena peresean dua pepadu adalah lawan. Di luar arena mereka menjadi kawan. Tidak ada dendam yang dibawa keluar dari kancah pertarungan.


Lombok Timur, 26 Januari 2022

Selasa, 25 Januari 2022

Iseng


Jika ada kompetisi kepemilikan WAG terbanyak saya yakin bisa jadi pemenang. Saat ada tawaran bergabung dalam sebuah grup saya selalu cekatan untuk iseng menerobos masuk. Akan tetapi gurp WA yang saya pilih tentu memiliki muatan positif. Saya harus seleksi. Keuntungan non-finansial apa yang harus bisa saya peroleh. Infromasi, pengetahuan, atau sekadar hello-hello atau kirim-kirim gambar tak jelas. Saya tidak mau kuota saya sia-sia untuk memnbuat pilihan sesuatu yang tidak jelas peruntukannya.

Kriteria umum grup yang saya gandrungi adalah  WAG yang memberikan infromasi tentang hal-hal positif, seperti, webinar, diklat, atau bimtek online. 


Salah satu WAG yang saya ikuti adalah Belajar menulis 24 yang dinakhodai oleh Wijaya Kusumah, seorang blogger, penulis, tariner, motivator, dan pehembus pikiran-pikiran positif kepada orang lain.


Belajar menulis yang dilakukan secara maya melalui aplikasi whatsapp itu menarik perhatian saya. Dalam WAG yang beranggotakan sekitar 250 orang itu berkumpul orang-orang yang hidup dengan semangat dan optimisme yang menjulang. Mereka merupakan para pembelajar yang terus menerus dirundung kehausan dan kelaparan dalam dunia tulis menulis.


Pertemuan ke 1 sampai ke 2 saya tidak mengikuti kegiatan secara maksimal. Ini disebabkan oleh beberapa kegiatan lain yang harus saya ikuti. Hari pertama dan kedua, tidak belaka saya harus membuat resume sebagai tugas belajar menulis tetapi juga harus menjalani peran sebagai narsum dalam Bimtek TIK dan akun belajar.id yang mulai booming sejak pembelajaran masa pandemi. Pertemuan ke 3 belajar menulis saya dihadapkan pada kegiatan rapat koordinasi--masih secara maya--rencana diklat penyusunan asesemen pembelajaran paradigma baru. Belum lagi saya harus menuntaskan laporan keuangan dalam rangka audit keuangan sekolah oleh instansi berwenang.


Malam ke 4 belajar menulis saya sudah sepakat mengikuti coaching dengan pelatih ahli sekolah penggerak secara daring. Ingat dengan kesepakatan itu, saya buru-buru pulang dari masjid meninggalkan anak-anak asuh saya yang belajar ngaji al-Qur’an sedang antre menunggu bimbingan. Untung ada guru ngaji lain yang sedang bertugas menggantikan saya.


Tiba di rumah saya buka laptop dan menuju tab whatsapp web untuk mencari tautan link meet yang dikirim pelatih ahli. Untung tak dapat diraih. Malang tak dapat ditolak, Saya mendapati pesan japri dari pelatih ahli bahwa beliau berhalangan karena ada kegiatan lain yang harus diikuti.


Saya lanjutkan membuka WAG “Belajar menulis 24”. Moderator, Bu Widya, sudah mulai membuka kegiatan dengan menyampaikan susunan acara dan menjelaskan profil dan karya puisi narsum. Setelah dipersilakan moderaror, narsum mulai menyampaikan materi.


Dulu sekali saat saya masih lajang, saya merupakan kutu buku. Saya sering lupa makan dan rokok kalau sudah mulai membaca. Sekarang saya bukan kutu buku lagi. Malas baca. Sikap malas itu juga muncul saat menbaca materi yang disampaikan Narasumber. Saya hanya membaca beberapa pesan penting saja. Maafkan saya Narsum.


Dalam sergapan kemalasan itu saya mulai menulis resume. Saya berusaha menulis secepatnya agar dapat menempati posisi tertinggi dalam pengumpulan resume. Sayang seorang peserta bernama Mutmainah menjadi penulis resume tercepat. Saya sendiri baru sampai pada pertengahan narasi ketika resume pertama diposting. Saya terus menulis dengan mengutip beberapa materi inti narsum. Saya juga melakukan teknik browsing untuk mendukung resume yang saya tulis.


Notifikasi kiriman resume ke 2 dan ke 3 muncul secara berurutan di sisi kiri chromebook yang saya gunakan. Jemari saya terus menari menjalankan perintah untuk menuliskan lambang bahasa sebagai sebagai representasi pikiran saya. Saya terus menulis hingga akhir paragraf.


Setelah saya anggap cukup, resume yang saya ketik pada google doc saya salin dan dipindahkan ke blog sebagai postingan baru. Saya klik “publikasikan” untuk menuntaskan tugas. Saya copy link resume dan saya kirimkan di grup dengan urutan ke 4 salam daftar tugas. Saya klik menu preview untuk melihat tampilan blog setelah terkirim. Ternyata saya belum memasukkan poster pelatihan hari ke 4 pada halaman resume. Saat mencoba melakukan editing, sebuah pesan dari moderator meminta alamat saya karena mendapat hadiah dari nara sumber. Apakah karena resume terbaik. Entahlah. Padahal resume yang saya tulis tidak terlalu panjang.


Akan tetapi, saya patut berterima kasih kepada moderator dan narsum yang telah memberikan hadiah buku. Dua sosok hebat di grup BM 24 telah menumbuhkan kembali tunas semangat baca saya yang telah lama layu.


Semango, 25 Januari 2022, 00.28


Senin, 24 Januari 2022

How To be The F1



Bagai gemerincing gelang kaki penari dalam film Bollywood, suara notifikasi pesan WA dari smartphone membangunkan saya tadi siang menjelang sore, sekitar pukul 15.30 wita, Senin, 24 Januari 2022. Sejumlah notifikasi dari beberapa grup WA masuk dan menunggu untuk dibaca. Pililihan pertama jatuh pada notifikasi dalam WAG “Belajar Menulis 24”. Begitu terbuka saya mendapati sebuah poster tentang informasi pertemuan ke 4 pelatihan belajar menulis PGRI. 

“How to be the F1”. Kalimat Inggris ini ditulis cantik di atas gambar narsum cantik, Maesaroh, M.Pd, dan moderator cantik, Widya Setiyaningsih, dalam poster. Melihat gabungan huruf F dan angka 1 saya tercenung berusaha memahami artinya. Setahu saya F1 itu sebuah kompetisi balapan mobil dengan tempat duduk tunggal. Rodanya lebih tinggi dari badan mobil itu sendiri. 

Lalu saya searching untuk memperjelas pemahaman saya tentang F1. Ternyata F1 juga mengacu kepada dua istilah lain. F1 merupakan istilah genetika yang memiliki pengertian sebagai keturunan pertama dari hasil persilangan. Makna lainnya, F1 adalah salah satu tombol fungsi pada papan ketik komputer. [1]

Saya lebih cenderung menghubungkan F1 yang mengacu kepada istilah genetika sebagai keturunan pertama dari hasil persilangan. Membaca materi narasumber, malam ini, bahwa untuk mendulang pembaca dan komentator, “sebagai seorang bloger pemula kita perlu mengenalkan aroma tulisan kita pada khalayak ramai”. Seorang penulis pemula harus berusaha memampang tulisannya pada list teratas. Dia harus menjadi turunan pertama yang harus memperlihatkan hasil belajarnya.


Alasannya, dengan menempatkan tulisan pada posisi tertinggi, peluang untuk dikunjungi oleh banyak pembaca lebih besar. Ini cara berfikir yang realistis. Hal ini dibuktikan narsum sebagai peserta angkatan 18 belajar menulis PGRI. Akan tetapi, bagi saya dan mungkin banyak penulis pemula, untuk mencapai poisisi ini akan menjadi sesuatu yang sulit. penyebabnya, tentu karena keterbatasan dalam keterampilan menuangkan ide dan pengalaman secara tertulis. Diperlukan motivasi dan komitmen seorang penulis pemula secara konsisten.


Ada satu hal yang menarik dari penjelasan nara sumber terkait cara membuat resume. Dalam konteks ini, peserta disarankan membaca materi dari Narasumber dengan baik. Selanjutnya, peserta dapat membuat tiruan bahasa Narsum dengan tehnik parafrase, sebuah teknik penulisan ulang bagian tertentu dari tulisan orang lain’ Teknik ini dilakukan dengan menyusun kalimat menggunakan kata-kata penulis sendiri, tanpa mengubah arti aslinya dan juga tidak menghapus informasi apa pun. [2]

Narsum juga menjelaskan bahwa seorang penulis harus memiliki karakter. Seorang penulis harus memiliki gaya bahasa sendiri. Hal ini dapat dipahami mengingat gaya bahasa yang diperlihatkan penulis secara langsung menunjukkan gaya berfikirnya.

Pada penulis pemula karekter itu menjadi penting. Karakter tulisan seseorang akan membuat pembaca tertarik. Hasil karya penulis pemula biasanya bukan obyek yang menarik bagi banyak pembaca. Tidak semua orang peduli pada tulisannya. Berbeda ketika seseorang berhadapan dengan naskah tulisan penulis terkenal. Sebagai ilustrasi ketika menemukan dua buku karangan Ahmad Tohari dan buku karangan rekan saya di sekolah, saya akan lebih memilih bacaan tulisan Ahmad Tohari tinimbang yang lain. Saya fikir, hal ini juga akan berlaku pada pikiran sebagian besar peserta Belajar Menulis. Untuk itu, penulis pemula harus memiliki karakter, ciri khas tulisan, atau gaya bercerita yang mandiri.

Adalah hal penting, menurut narsum, bahwa mental yang harus dibangun dalam dunia kepenulisan adalah sikap percaya diri. Seorang penulis harus nekat dan “bermuka tembok”. Penulis pemula harus berani menyebarkan tulisannya pada berbagai blog. Semakin banyak sebuah tulisan dipublis, semakin banyak kritikan dan masukan. Muaranya, seorang penulis akan makin banyak memahami kekurangannya.

O, ya. Tatkala membaca puisi “Senja Mengukir Cinta” karya narsum Maesaroh, M.Pd yang dikirim moderator, Widya Setiyaningsih, saya sempat larut dalam dekapan diksi puitisnya. Maesaroh, The Queen of Diction, telah berhasil memadukan suasana batin dengan kelengangan dan kepekatan semesta.

Terima kasih Moderator
Terima kasih The Queen of Diction.

Semango, 24 Januari 2022. 22.30 wita

Bocah usil

Dua hari berturut-turut dalam minggu ini saya harus menekan kejengkelan paripurna. Saat itu siang telah menua. Matahari sudah meninggalkan titik kulminasinya. Saya keluar dari pintu menuju mesin 4 langkah yang akan membawa saya pulang.

Saya naik jok menancapkan kunci. Kaki dan tangan saya bekerja menjalankan fungsinya masing-masing untuk menghidupkan mesin secara manual. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya kaki saya terus menggenjot tangkai starter. Pada saat yang sama, tangan kanan saya memutar gas mengimbangi genjotan kaki. Serasa tidak ada percikan api pada busi. Kaki ini sudah pegal tetapi mesin tidak juga hidup. Saya berfikir mungkin businya mati. Saya menunduk memeriksa busi. Saya tersenyum kecut melihat tutup busi tidak terpasang pada tempatnya. Lepas.

"Ini pasti ulah bocah usil", fikir saya sambil mencoba menghidupkan mesin.

"Geruuuuung. Geruuuuung..!" mesin keluaran masa lalu hidup.

Saya tancap gas. Pulang. Belum sampai  💯 meter mesin menunjukkan gejala kehabisan bahan bakar. Padahal sehari sebelumnya saya isi full tanki dengan BBM paling lux di kelasnya.

Saya berhenti memeriksa kran BBM. Saya terperangah. Krannya mengatup. Pantas saja. Saya kembali bergumam lagi, "Ini pasti ulah bocah usil."

Hal yang sama terjadi pada hari keesokan harinya. Kali mesin hidup normal. Tetapi belum 💯 meter roda berputar, gejala kehabisan BBM timbul lagi. Refleks ingatan saya membayangkan kejadian kemarin. Kran BBM. Benar. Posisi kran tertutup.

"Dasar bocah-bocah usil!"

Tayang 25 Juni 2021 pada https://www.facebook.com/100004318352255/posts/2221869904633600/

Nostalgia Hisponwadi


Bagi abituren (alumni) yang pernah menuntut ilmu di Pancor sampai tahun 85-an sebagian besar mungkin tidak asing dengan asrama Hisponwadi. Saya menduga itu singkatan dari Himpunan Santri/Siswa Pondok Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (kalau saya ridak salah). Asrama itu terletak di antara Mushalla Al-Abror (kediaman Al-Magfurullah) dan bangunan Muallimat NW Pancor. 

Santri yang tinggal di asrama Hisponwadi tidak dipungut biaya apapun. Bangunannya dibuat sendiri oleh wali santri. Kalau mereka tamat akan diisi oleh santri baru. Demikian siklus penghuninya.

Bentuknya sangat sederhana. Tiangnya terbuat dari bambu. Atapnya bombong (daun kelapa). Dindingnya pagar bambu. Lantainya tanah. Jika pulang liburan seminggu saja santri akan menemukan cendawan tumbuh subur di lantai bawah tempat tidurnya saat kembali ke asrama. Mungkin penyebabnya karena lantai tanah selalu lembab.

Tempat tidur penghuninya rata-rata dipan kayu. Di atasnya terhampar tikar pandan sebagai alasnya. Beberapa santri menggunakan lincak (tempat tidur dari bambu). Kaki lincaknya ditanam sehingga posisinya tidak bisa dipindahkan. Tidak ada kasur apalagi spring bed. Saat mengubah posisi tidur lincak itu akan mengeluarkan irama derit yang mengimbangi nyanyian serangga malam.

Kesederhanaan itu digenapkan dengan remang cahaya lampu minyak pada malam hari. Kalau sumbu lampu itu ditarik lebih panjang nyalanya membesar dan memicu terbangnya jelaga yang membuat hidung dan area sekitar wajah akan menghitam saat belajar. Santri sekarang tentu tidak dapat membayangkan bagaimana penghuninya belajar dengan dukungan lampu minyak yang hanya mampu menghasilkan cahaya remang-remang. 

Satu hal yang masih membekas dalam kesadaran saya sebagai bagian dari kehidupan santri kala itu adalah semangat menuntut ilmu tidak seremang lampu yang kami gunakan. Sebaliknya kondisi itu seakan menjadi sumber energi yang membakar semangat belajar.

Fasilitas air sebagai kebutuhan utama hanya mengandalkan sebuah sumur timba yang berada persis di tengah asrama. Di salah satu sisi sumur terdapat sebuah penampungan air. Dari sumur itu santri mengambil air untuk masak di samping untuk wudlu. Satu dua orang memanfaatkannya untuk mandi. Penghuni asrama lebih memilih untuk mandi ke Kokok Tojang atau Sanggeng. 

Tidak ada toilet di asrama. Maka saat otot-otot anus bergerak refleks mendorong sisa-sisa makanan dalam usus, santri bergegas ke Kokok Tojang atau Sangggeng untuk meluapkan dorongan beol. Bagi yang takut kegelapan biasanya mereka buang hajat sore atau petang hari untuk menghindari luapan limbah pada malam hari akibat proses metabolisme dalam tubuh.

Asrama Hisponwadi dihuni santri laki-laki dengan tingkat sekolah yang beragam, mulai dari tsanawiyah sampai ma'had. Latar belakang keluarga secara ekonomi dan sosial juga beragam. Keberagaman itu tidaklah membuat adanya sekat antar santri. Santri berbaur dalam semangat dan keinginan yang sama. Belajar dan menempa diri dengan ilmu dan akhlak.

Tidak saja bangunannya yang sederhana. Menu makanan juga seadanya--biasanya biji kacang-kacangan, seperti, kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang, kecipir, dan semacamnya. Kacang-kacangan itu sengaja dipilih karena dapat mudah didapat dan dapat disimpan dalam waktu lama. Semua kacang-kacangan itu dimasak dengan resep yang sama. Bumbunya cabe, bawang, tomat, dan garam secukupnya. Semua bumbu itu diulek jadi satu dalam cobek tanah liat. Kadang-kadang dicampur daun ubi jalar yang merambat di dinding asrama. Sesekali santri makan telur yang dimatangkan bersama nasi yang dimasak. Bila maulid, lebaran, dan hari besar Islam tiba, santri dilanda euforia karena makanan melimpah. Kadang-kadang kami diundang warga Pancor untuk hiziban (doa yang disusun oleh KH. Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nahdlatul Wathan Pancor NTB). Ini menjadi momen paling membahagiakan karena akan makan enak.

Saat persediaan makanan sudah habis biasanya santri pulang lalu kembali dengan memikul karung berisi beras dan berbagai jenis kebutuhan. Sebuah pemandangan yang galib masa itu jika santri bawa karung berarti baru datang dari rumah.

O, ya. Salah satu ciri khas kami saat itu adalah koreng dan kudis. Tidak seorangpun dari kami luput dari serangan penyakit yang disebabkan bakteri itu. Semua penghuni pernah diserang gatal-gatal terutama pada bagian yang tak patut untuk disebutkan.

Tahun 1985 Hisponwadi terbakar. Saat itu saya di tahun ke dua di bangku Tsanawiyah Muallimin. Tidak satupun bangunan asrama yang tersisa. Semua lenyap dimakan api yang konon bersumber dari kompor milik salah seorang santri. Semua penghuni asrama 'rarut' dan mencari tempat tinggal baru. 

Secara logika, Mushalla al-Abror di sebelah timur, madrasah Muallimat di sebelah barat, dan gedung thullab ma'had di sebelah selatan mestinya ikut terbakar tetapi kobaran api tak sampai menyentuhnya.

Hisponwadi bagi saya adalah tempat paling nyaman dan paling teduh yang pernah saya temukan setelah rumah. Asrama sederhana itu menyimpan kenangan yang mengesankan. Terlepas dari belajar formal di madrarsah, di asrama itu saya banyak belajar tentang rasa sakit, keprihatinan, dan kesederhanaan sekaligus ketegaran. Asrama itu tidak saja menularkan koreng dan kudis tetapi kemandirian sekaligus kebersamaan.

Sabtu, 22 Januari 2022

Blog dan Youtube Bu Rita (Pertemuan ke-3 BM)


Pertemuan ke 3 Belajar Menulis PGRI Gelombang 23-24 dihadirkan narasumber Rita Wati, S.Kom dengan moderator Rosminiyati. Moderator kegiatan ternyata sangat sigap. Sejak siang topik kegiatan sudah dishare melalui WAG dalam bentuk poster. Sebuah kalimat bertuliskan "Blog dan Youtube mengantarkanku Menjadi Guru Inspiratif Nasional" di sisi atas poster

Membaca pampangan topik materi pelatihan tersebut saya berkeyakinan bahwa nara sumber memiliki kemampuan memantik semangat belajar peserta. Topik itu tidak belaka memberikan pesan informatif materi pelatihan melainkan memiliki muatan tersirat yang dalam. Di balik kalimat singkat posternya Bu Rita berusaha mempersuasi peserta dan seolah sedang berkata dengan lantang, "Hayo ikut bersamaku berkarya melalui blog dan youtube! Gratis. Anda hanya butuh kemauan dan komitmen."

Blog dan youtube merupakan aplikasi gratis yang dapat di akses via google, milik Lary Page, untuk menuai dan menyebarkan informasi kepada semua orang tanpa sekat ruang dan waktu. 

Weblog atau blog adalah sebuah website atau jurnal online yang berisi informasi berbentuk tulisan yang dimuat sebagai posting pada sebuah halaman web.¹

Pengertian blog di atas sepertinya kurang lengkap karena hanya membatasi fungsi blog sebagai media informasi tulisan. Ternyata lebih dari itu, gambar dan video dapat diunggah ke halaman blog.

YouTube sendiri merupakan media informasi berupa video atau film. YouTube didirikan oleh Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim, yang sebelumnya merupakan karyawan pertama PayPal.²

Blog dan YouTube rupanya telah dimanfaat dengan maksimal oleh Bu Rita untuk menjalani profesinya sebagai guru. Jalan yang ditempuh Bu Rita tentu tidaklah segampang membalik telapak tangan. Beliau membutuhkan waktu dan usaha yang panjang, sepanjang komitmen dan semangatnya berbagi hal positif melalui dua media itu.

Saat membaca hasil resume peserta belajar menulis, saya melihat telah banyak peserta meringkas pengalaman dan karya Bu Rita. Maka melalui resume singkat ini perkenankan saya menyimpan semua karya Bu Rita sebagai pengingat, penggugah, dan referensi saya untuk mulai melakukan sesuatu seperti yang Ibu perbuat.

Terima kasih
.

Jumat, 21 Januari 2022

Card Serbaguna dan Tayamum

Setelah berhasil menjadi juara dalam festival Ketua RT teladan di negeri Antah Berantah, Amaq Sumenah diberikan kesempatan untuk menerima penghargaan langsung dari Kementerian Urusan Masing-masing. Maka dia berangkat ke ibukota negara Antah Berantah. Tentu saja fasilitas penginapan telah disiapkan. Tidak tanggung-tanggung, Amaq Sumenah menginap di hotel bintang toejoe (poesing).

Saat check in, resepsionis cantik menyodorkan sebuah kartu kepada Amaq Sumenah. Dia sama sekali tidak berfikir bahwa kartu itu multifungsi.

Petantang petenteng Amaq Sumenah menuju pintu lift yang akan mengangkatnya sampai lantai sekian bangunan hotel pencakar udara itu. Tentu saja dia tidak sendiri. Sejumlah ketua RT dengan status perokok super aktif seperti Amaq Sumenah mendapatkan layanan kamar spesial. 

Di lantai tujuan Amaq Sumenah tengak tengok mencari nomor kamar. Setelah mondar mandir macam setip pensil 2b akhirnya nomor kamar ditemukan. Tidak ada kunci di pintu. Hanya sebuah kertas bertuliskan “kamar ini sudah distrerilisasi” menjuntai di gagang kunci pintu.

Karena terlihat bingung sendiri di depan pintu, tamu hotel di depan kamarnya menawarkan jasa untuk membantu membuka pintu. Tamu itu mengambil kartu kamar dari Amaq Sumenah lalu ditempelkan pada kunci pintu sekaligus membukanya.

Saat masuk kamar lampu mati. Hal pertama yang dicari Amaq Sumenah tentu saja saklar. "Cetak.. cetok.. cetak.. cetok..!" Dia menekan sejumlah saklar yang ada dalam ruangan. Tidak satupun lampu nyala.

"Listrik hotel berbintang kok bisa korslet juga," Amaq Sumenah menggerutu pada dinding ruangan dan lampu kamar. Bantal, kasur, dan tipi LED yang menempel dengan anggun di salah satu dinding ruangan tidak luput dari gerutunya. Semua benda mati itu seakan ingin memberikan petunjuk. Tetapi barang-barang itu seperti sekumpulan orang tersedak.

Amaq Sumenah mencoba menenangkan diri dengan menyulut sebatang rokok lintingan tembakau 'bireng leceng'. Kepulan asap itu membuat pikirannya mulai sumringah. Dia kembali menekan-nekan saklar satu persatu. Tetap saja lampu-lampu itu tidak memiliki respon apapun. 

Dalam situasi itu sifat sok pintar dan keangkuhannya luluh bagai lilin disulut api. Dia putuskan menghubungi ketua RT lain yang dikenalnya dan memberitahu kondisi listrik di kamarnya. Atas petunjuk temannya, Amaq Sumenah diminta memasukkan kartu ke lubang Energy Saving Switch (saklar listrik kartu) di dekat pintu kamar.

“Tareraaaang..!” Ruangan hotel terang benderang dalam satu tarikan napas setelah kartu itu dicelupkan. Semua lampu menyala. Dicabutnya kembali kartu itu dan dilempar ke atas meja. Sebelum kartu itu menghempas meja, lampu mati lagi. Amaq Sumenah mengambil kembali kartu itu dan memasukkannya ke kotak saklar. Lampu menyala. Dia melakukan hal yang sama sampai beberapa kali--memasukkan kartu dan mencabutnya kembali setelah lampu menyala. Nyala dan padam.

Karena semua lampu menyala, Amaq berasumsi bahwa listrik tidak kuat. Dicobanya mematikan sebagian lampu lalu kartu dimasukkan dan dicabut lagi. Tetap saja lampunya mati setelah kartu dicabut. Dia masih berfikir bahwa kapasitas listrik tidak kuat. Kali ini semua lampu dimatikan. Untuk mengontrol kondisi listrik, di-carge-nya smartphone yang memang sudah lowbat. Kartu masukkan. Arus listrik di smartphone tersambung.

Serangkaian eksperimen itu membawanya kepada sebuah kesimpulan bahwa kartu yg sdh dicelupkan tidak boleh dicabut kembali. Maka tindakan terakhir yang dia lakukan adalah membiarkan kartu itu dalam liangnya. Ternyata betul. Listriknya menyala tanpa mengeluh selama kartunya tidak dicabut.

Kisah belum selesai. Amaq Sumenah melangkah menuju “jeding” untuk wudlu' shalat ashar. Sebuah kran di mulut wastafel seakan menunggu kehadirannya. Dengan sedikit mengangkat ujung kran air mengucur keluar. Awalnya dingin tetapi arus air berikutnya mulai terasa hangat bahkan cenderung panas. Kran ditutup lagi. Beberapa saat berikutnya kran dia buka lagi. Suhu air masih panas. Kran ditutup lagi. Begitu seterusnya. Air tetap saja panas. Akhirnya Amaq Sumenah mengambil keputusan untuk tayamum.

Jangan percaya sepenuhnya pada cerita ini. Sisakan kepercayaan itu untuk pasanganmu.


Diunggah pada tgl 22 Mei 2021 pada Beranda Facebook

https://www.facebook.com/100004318352255/posts/2196119623875295/

Catatan:

Amak dalam bahasa Sasak berarti ayah. Kata di belakang Amaq disematkan berdasarkan nama anak paling sulung.

Kamis, 20 Januari 2022

Pertemuan Ke 2 Belajar menulis gelombang 24



Rabu malam, 19 Januari 2022, merupakan malam ke 3 saya "dipaksa" keadaan melakukan pertemuan secara maya. Dua malam sebelumnya saya harus menjalani peran sebagai pemateri bimtek penggunaan TIK kepada peserta. Malam ini saya kembali melakukan pertemuan serupa bersama tiga orang kepala sekolah yang tergabung dalam Forum Sekolah Penggerak SD Kabupaten Lombok Timur. Agenda pertemuan tentang persiapan bimtek penilaian pembelajaran paradigma baru.

Pada saat yang sama saya berusaha mengikuti pertemuan ke-2 kegiatan Belajar Menulis PGRI gelombang 23-24 di bawah panduan Dra. Sri Sugiastuti, M.Pd yang juga dikenal dengan Ibu Kanjeng. Pikiran saya terbelah. Di satu sisi saya harus berkonsentrasi mendengar, mencatat, dan menyumbangkan pendapat dalam pertemuan dengan tiga kepala sekolah. Di sisi lain, saya juga berusaha mendengarkan pesan suara dari nara sumber (Ibu Kanjeng). Sementara itu, mata saya sudah sangat kayu saat mencoba menulis resume sebagai bukti aktif peserta BM. 

Sampai paragraf ke dua tulisan ini saya tidak mampu lagi bertahan melawan sergapan kantuk yang terus meraksasa. Saya tunduk dan berdamai dengan kepenatan itu ketika puncak malam sudah menurun sampai angka 30-an menit.

Tadi pagi setelah subuh, Saya mencoba melanjutkan tulisan ini tetapi pikran saya terbelah lagi dengan laporan keuangan sekolah yang belum tuntas. Belum lagi saya harus mengalihkan perhatian si bungsu empat tahunan yang biasanya rewel ketika ibunya menyiapkan sarapan untuk dua kakaknya yang akan berangkat sekolah.

Saya bukan pesolek, tidak pernah menggunakan pewangi, maka tidak butuh waktu lama untuk mengenakan pakaian sebelum berangkat ke sekolah. Kepala botak saya juga tidak memerlukan sisir untuk merapikan sesuatu yang harus dirapikan. Tiba di sekolah seharian saya berada di atas kursi hidrolik menyelesaikan laporan keuangan sekolah.

Sore ini saya membaca rangkaian pertanyaan peserta dan mendengarkan jawaban Nara sumber tentang dunia.kepenulisan. pertanyaan itu beragam. Saya menangkap kesan yang luar biasa dari respon narasumber yang dengan sabar pertanyaan peserta satu persatu.

Saya tidak bisa membuat deskripsi lengkap dan menyimpulkan secara utuh materi kegiatan pertemuan ke 2 belajar menulis. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini menggambarkan pengalaman belajar hari ini dengan berbagai kondisi yang saya alami.

Terima kasih BM

Rabu, 19 Januari 2022

Pembelajaran Matematika

Sumber gambar : http://www.yayasanponpes-abumanshur.com/2019/01/pelajaran-matematika-itu-menyenangkan.html

Matematika secara umum dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang sulit. Anggapan itu membuat mata pelajaran ini menjadi sesuatu yang unik. Keunikan itu terletak pada dua efek psikologis paradoksal yang ditimbulkannya. Matematika di satu sisi memberikan kebanggaan sekaligus ketakutan di sisi lainnya.

Berkembangnya persepsi bahwa Matematika sebagai mata pelajaran sulit, menumbuhkan kebanggaan tersendiri pada diri siswa ketika memiliki kemampuan lebih pada mata pelajaran ini. Kebanggaan itu tidak saja mewarnai kesadaran siswa melainkan juga guru dan orang tua. Anak-anak dianggap memiliki keunggulan istimewa jika mendapat nilai istimewa pada pelajaran tersebut. Pada saat yang sama, pandangan bahwa Matematika itu sulit, juga membuat kebanyakan siswa menjadi alergi ketika mendapatkan tugas menyelesaikan soal-soal matematika. Siswa seakan mengalami semacam sindrom yang membuat mereka bersikap skeptis, kurang berminat, dan tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Matematika Phobia mungkin sebuah istilah yang tepat untuk mewakili rasa takut tersebut.

Munculnya Matematika Phobia sesungguhnya sebuah efek psikologis yang pemicunya bukan akibat kesalahan siswa dan tingkat kesulitan matematika itu sendiri. Phobia tersebut lebih disebabkan oleh pemilihan metode, pendekatan, dan media yang kurang tepat (bahkan nir-media) dalam proses pembelajaran.

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejauh ini pembelajaran paling klasik dan paling umum yang digunakan adalah pembelajaran yang bersifat verbal. Guru, di satu pihak, menjelaskan dan memberikan gambaran secara lisan sebuah materi pelajaran dan, di pihak lain, siswa “dipaksa” memahami penjelasan panjang lebar yang disampaikan guru. Siswa sering ditempatkan sebagai obyek pasif yang sekadar menjadi sasaran dari sebuah proses pembelajaran tanpa mengikuti proses itu secara utuh. Pembelajaran verbal memang bukan sebuah aib tetapi ketika seluruh proses pembelajaran didominasi oleh pembelajaran semacam ini tentu akan menghilangkan kesempatan siswa untuk menikmati kegiatan pembelajaran dengan cara-cara yang menyenangkan.

Para ahli bersepakat bahwa pembelajaran akan bermuara pada titik yang memuaskan jika prosesnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dalam suasana kebatinan yang menyenangkan. Sebaliknya, hasil belajar akan sulit dicapai secara optimal jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menakutkan, kaku, dan menjemukan.

Dalam berbagai literatur, konsep pembelajaran menyenangkan dirumuskan dalam untaian kalimat yang beragam. Akan tetapi keragaman rumusan itu mengandung esensi dan pengertian yang sama. Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang tidak membuat siswa merasa takut salah dan takut ditertawakan. Pembelajaran memantik  keberanian siswa untuk mencoba dan berbuat, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat, dan berani mempertanyakan gagasan orang lain. Pembelajaran menyenangkan tidak terikat pada proses belajar yang kaku dan membosankan. Pembelajaran menyenangkan tidak memasung semangat belajar dan mengebiri rasa ingin tahu siswa. Dalam proses pembelajaran menyenangkan siswa merasa "at home", siswa harus merasa kerasan.

Lalu bagaimana merancang dan melaksanakan pembelajaran agar menyenangkan? Mungkin salah satu cara yang patut dicoba adalah dengan membagikan uang pada siswa lalu disuruh beli jajan dan makan jajan itu sampai jam pelajaran Matematika berakhir.

Berdasarkan dugaan sementara, ini dijamin menyenangkan. Sesekali tanggalkan keseriusan paripurna itu. Keluarlah dari cangkang dan tertawalah terbahak-bahak.

Muhammad Zulhajj Ahsanul Khalqi

Lahir 19 bulan silam menjelang Idul Adha 1439 H. Kelahirannya persis saat gempa menjadi trend bencana. Selama belasan hari sempat menjadi anak tenda. Kelahirannya juga dikawal musibah yang mendera keluarga atas kepergian adik tercinta Yul Hardani. 

Saya sematkan nama Muhammad Zulhajj Ahsanul Khalqi. Nama yang cenderung terlalu panjang. Kata di belakang itu menjadi sapaannya. Kata "Zulhajj" saya selipkan untuk mengingat bulan Zulhijjah sebagai bulan kelahirannya.  Khalqi sempat dirundung koreng dan kudis beberapa bulan setelah kelahirannya. Penyakit yang disebabkan hewan mikroskopis itu ditularkan oleh si Sulung, santri yang menyelesaikan pendidikan pesantren karena tidak tahan cobaan hidup di asrama bukan karena sudah banyak mendapat ilmu.

"Nit... Nit...!" begitu rintihnya menyayat rasa hampir setiap malam sambil menggaruk bagian tubuhnya yang gatal. Sekarang perjuangannya melawan penyakit itu telah berlalu. 

Saat ini Khalqi sudah menguasai sejumlah besar kosa kata untuk balita seusianya. Dia hafal hampir semua nama papuknya. Papuk Tuan Us, Papuk Tuan Cun, Papuk Tuan Ucin,, Papuk Tuan Hila, Papuk Ae, sampai Papuk Apok. Bahkan sebagian besar tetangga dekat dari yang kecil sampai generasi renta sudah menjadi bagian dari sistem kognisinya.

"Uciiin...!" teriaknya saat melihat Papuk Tuan Ucin atau mendengar mesin mobilnya memasuki gerbang halaman. Dan.. "Pepiiing...!" kata itu mengiringi teriakan pertamanya karena terbiasa diberikan "keping". 

Kebiasaan tak lazimnya adalah suka menjadikan sapu dan sendok masak sebagai mainan. Dan sendok masak merupakan peralatan dapur tak terpisahkan dari fase polosnya. Bahkan saat tidur. 

Setiap hari Khalqi mengawali hidup sejak fajar. Bagi saya ini anugerah karena kehadirannya telah memutus kebiasaan tak elok. "Kepangkaran". 

Satu hal yang belum dimengertinya adalah beringasnya gempuran pandemi Covid 19. Sama tidak mengertinya dengan sejumlah besar warga +62 yang "bengkeh" dilarang kumpul-kumpul untuh memutus rantai penularan.

Selasa, 18 Januari 2022

Pemimpin Gerombolan

Menurut para pemerhati alam permonyetan, pemimpin gerombolan itu kepala puncak dalam sebuah satuan kelompok permonyetan pada level terendah.

Kepemimpinan monyet juga memiliki hirarki. Di atas pemimpin gerombolan ada pemimpin yang lebih tinggi, sebut saja pemimpin kawanan. Di atas pemimpin kawanan ada pemimpin lebih tinggi yang memimpin masyarakat permonyetan secara umum. Anggap saja sebutannya pemimpin monyet.

Pemimpin gerombolan merupakan pemimpin yang berdiri di garis terdepan dalam dinasti monyet. Pemimpin ini secara langsung bersentuhan dengan warga monyet. Dalam undang-undang permonyetan, pemimpin gerombolan itu semacam jabatan yang memiliki kebebasan penuh (dan bertanggungjawab) atas penyelenggaraan kepemimpinan pada tingkat gerombolan.

Dalam banyak hal pemimpin gerombolan hakikatnya tidak dapat diintervensi dalam mengekspresikan kebijakannya untuk mencapai visi dan menjalankan misi gerombolannya. Ia memiliki kebebasan untuk mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki gerombolan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Maka, sebagai pemimpin yang memiliki otoritas penuh, pemimpin gerombolan monyet dituntut memiliki kompetensi kepemimpinan yang kuat. 

Satu hal yang harus diyakini, pemimpin gerombolan monyet harus membekali diri dengan integritas--sebuah karakter personal yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. 

Kewibawaan sebagai bentuk integritas tidak saja terpancar dalam lingkungan internal gerombolan tetapi harus mampu menembus batas ruang yang lebih luas. Cahaya kewibawaan itu harus menjangkau area gerombolan lain dalam dunia permonyetan. Pantulan integritas itu juga bahkan seyogyanyalah mencapai ketinggian. Cahaya itu harus dapat dipantulkan sampai ke ruang kerja pemimpin monyet. Pendek kata berintegritas secara horizontal dan secara vertikal.

Kenyataan di hutan belantara menunjukkan, pemimpin gerombolan monyet kerap kehilangan integritas dalam menjalankan regulasi gerombolannya. Mereka acapkali harus tunduk pada tendensi pemimpin kawanan dan pemimpin monyet. Pemimpin gerombolan dan anggota gerombolannya acapkali dipaksa mengenakan jubah keledai padahal bentuk fisik monyet sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan jubah keledai.

BUKAN RESUME PERTEMUAN KE 1 BM GELOMBANG 24 IDE MENULIS BAGI GURU

Oleh: Mohamad Ashabul Yamin

Saya memiliki minat menulis yang cukup tinggi. Saya suka menulis di beranda FB. Biasanya tulisan bersumber dari pengalaman sehari-hari dan sesderhana. Saya membutuhkan bimbingan menulis dari orang-orang yang berkompeten untuk meningkatkan keterampilan yang sering dianggap sulit ini. Ketika mendapatkan tautan yang memberikan peluang untuk menggali potensi menulis saya langsung klik dan bergabung dalam Belajar Menulis Gelombang 24 Ide Menulis Bagi Guru. Saya tidak mengenal siapa dan dari mana pengelola dan master trainernya. Dari grup WAG yang saya ikuti saya mendapatkan informasi bahwa sosok master itu bernama Wijaya Kusuma.

Siapa dia. Entahlah. Saya masih tidak tahu. Saya hanya meyakini bahwa sosok itu merupakan pribadi yang senang berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Saya berkesempatan mengikuti pertemuan pembukaan Kegiatan Belajar Menulis melalui tatap maya. Melalui pertemuan itu saya memperoleh informasi bahwa kegiatan dimulai hari ini, Senin, 17 Januari 2022.

Sayang saya tidak dapat mengikuti kegiatan pada pertemuan itu. Sejak pagi saya didapuk untuk memberikan materi Bimtek Penggunaan Chromebook dan akun belajar.id kepada rekan-rekan guru yang tergabung dalam KKG Sekolah Penggerak SD Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pukul 07.00 wita saya sudah meninggalkan dinginnya pagi dan rintik hujan yang menghempasi halaman rumah saya. 

Acara yang dimulai pukul 08.00 wita membuat saya harus memacu Honda Astrea Grand, sebuah kuda besi tua yang tidak pernah dipajak selama dua belas tahun. Saya menembus dingin di atas laju gesekan roda dan permukaan aspal basah. Saya tiba di lokasi sesuai jadwal dan mulai berbicara dengan microphone toa yang terus bertengger di depan mulut sampai (sekitar) pukul 12.00.

Selama berbicara saya hampir tidak menyentuh smartphone sampai saat isoma tiba. Menurut jadwal sesi berikutnya dimulai pukup 13.00 wita. Saya keluar dari ruangan. Di depan pintu panitia memberikan saya nasi kotak untuk makan siang. Saya makan dan ngobrol bersama panitia agak lama sampai azan zhuhur berkumandang sekitar pukul 12.25. 35 menit waktu tersisa untuk masuk ruang bimtek.

Usai shalat saya sempat menikmati segelas air mineral suguhan panitia dalam dorongan asap rokok. Tidak terasa waktu masuk ruang bimtek untuk sesi siang tiba. Dengan 3 pendamping saya menjejali kesadaran peserta dengan materi bimtek sampai pukul 15.00. Sebenarnya panitia memberikan batas sesi siang sampai pukul 14.00. Namun karena asyik masyuk semua penghuni ruangan terlena dalam pikiran dan tarian jemari di atas keybord laptop. Karena lebih dari batas jadwal, panitia memberikan interupsi kepada semua orang dalam ruangan untuk melanjutkan kegiatan secara daring pada malam harinya.

Saya keluar dari ruangan dengan tas bergayut di punggung. Sambil keluar saya membuka smartphone dan mendapati pesan WA sudah sesak. Salah satu WAG yang mendukung kesesakan itu adalah Belajar Menulis 24. Ujung jempol tangan kanan menyentuh list grup. Saya melihat ada gambar tukang bakso yang dikirim akun bernama Wijaya Kusuma. Gambar itu digenapkan dengan sebaris tanya, " Apa yang bisa Anda tulis dari gambar di atas?"

Saya scroll ke bawah, ada banyak komentar tentang gambar. Panjang komentar beragam, dari yang pendek dalam beberapa kalimat sampai menjadi sebuah tulisan seukuran cerpen, dari yang datar sampai yang lucu. Saya menduga kegiatan belajar menulis sudah dimulai. Ada pula yang sudah membuat tulisan yang tertuang dalam blog masing-masing.

Saya berfikir bahwa saya tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi tugas membuat resume karena malam hari nanti saya harus berhadapan dengan peserta bimtek melalui tatap maya mulai pukul 08.00. Belum lagi saya harus manjalankan peran guru ngaji usai shalat maghrib sampai pukul 08.00 atau lebih.

Saya pulang terlambat sampai di rumah. Kebiasaan singgah di rumah teman membuat saya pulang menjelang maghrib. Saya melepas sepatu, masuk rumah, meletakkan tas, ambil kopiah dan keluar menuju masjid di seberang jalan untuk shalat maghrib. Setelah shalat saya menjalankan peran saya sebagai guru ngaji sampai pukul 08.30 lalu shalat isya bersama anak-anak.

Saya bergegas pulang langsung membuka laptop dan join ke tautan gmeet. Ternyata dalam kelas virtual telah menunggu peserta bimtek. Saya langsung mulai memberikan materi bimtek sampai pukul 23.00. Gmeet saya tutup dan mulai membuaka blog yang saya buat dua hari yang lalu. Saya mulai menulis sampai paragraf terakhir ini.

Selasa, 18 Januari 2022 (12.20 wita)

Minggu, 16 Januari 2022

Pardi


Dalam seminggu dua sampai tiga pagi Pardi tidak langsung pulang usai shalat subuh. Jam delapan sampai jam sembilan dia masih di masjid. Apa yang dilakukannya? Pardi masih memainkan sapu dan alat pel ke lantai masjid sampai tak ada debu yang melekat. Tidak saja lantai tetapi juga pintu, jendela, hingga plafond menjadi sasaran kerjanya.

Segala sesuatu yang berpotensi membuat masjid kumuh dibersihkannya. Cecak-cecak yang berkeliaran di langit-langit dan dinding masjid diburunya. Tak kurang akal, cecak yang tak terjangkau ditangkapnya dengan sapu bertangkai panjang. Cecak yang jatuh ke lantai segera disergapnya. Sebelum binatang itu sempat memutuskan ekornya untuk menyelamatkan diri, tangan Pardi dengan sigap sudah menangkapnya. Pardi merasa harus menyingkirkan hewan yang menurut sebuah riwayat pernah hampir mencelakai kehidupan Nabi Agung Muhammad SAW. Hewan itu berak sembarangan. Beraknya najis dan menyebabkan shalat tidak sah kalau melekat pada pakaian atau terinjak kaki.

Demikianlah rutinitas Pardi, marbot masjid. Tidak heran jika ubin masjid selalu bersih dan mengkilap. Saking bersihnya, kalau Tuan dan Nyonya rebahan di ubin itu tanpa alas dengan mengenakan baju putih, dapat dipastikan akan bangun dengan baju putih tanpa warna lain. Pardi, laki-laki bertubuh mungil, memiliki kisah hidup dengan masa lalu yang muram. Lahir dan tumbuh dalam keluarga papa dan menjalani kehidupan kanak-kanak pada masa paceklik. Pardi menjalani masa kecil dimana negerinya masih merangkak dalam banyak aspek kehidupan. Sepetak sawah milik orang tuanya tidak bisa membantunya bertahan hidup karena masa itu belum ada penggunaan teknologi pertanian seperti sekarang ini. Situasi itu mengharuskan Pardi hidup sebagai petualang sejak kecil. Dia tinggalkan kampung halaman untuk melanjutkan hidup karena di tanah kelahirannya tak menjanjikan harapan apapun. Dalam usia yang masih sangat belia Pardi berangkat ke kota.

Di kota Pardi berjumpa dengan kehidupan cadas. Pardi hidup menggelandang. Tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sering pagi-pagi Pardi harus kena damprat karena masih tidur terkulai dan menghalangi jalan pemilik toko yang hendak buka. Kehidupan cadas itu membawa Pardi kepada persaingan hidup yang tidak jarang membuatnya tidak bisa menghindar dari adu jotos dengan sesama gelandangan.

Segala kerja dilakoni. Jualan kue, kuli panggul, kernet, sampai menjadi pemulung. Sesekali dengan hati yang perih Pardi mengemis. Dalam kesempatan lain Pardi membawa potongan kain lusuh ke tempat-tempat parkir. Dengan kain itu dibersihkannya kendaraan yang sedang diparkir. Dipilihnya kendaraan yang tidak jauh dari pemiliknya agar bisa membuktikan layanan jasanya dan punya alasan menengadahkan tangan untuk minta upah demi melanjutkan hidup hari itu. Tidak semua pemilik kendaraan bersedia menerima jasanya. Tidak jarang Pardi bertemu wajah sinis yang tidak ingin kendaraannya disentuh apalagi dilap. Orang seperti itu seakan melihat Pardi seperti makhluk menjijikkan. Pardi hanya bisa cengengesan penuh getir jika ketemu orang macam itu.

Kehidupan kota tidak saja mengajarkan Pardi hal baik melainkan juga hal buruk. Uang hasil kerjanya sering ludes dalam lemparan kartu domino atau kartu remi bersama teman- temannya. Dalam keadaan terdesak Pardi harus berdiri tegak di atas pijakannya dengan memilih cara yang tidak pantas, cara yang tidak pernah dia kehendaki. Dia harus hidup. Di tengah keramaian, tangan Pardi bekerja cekatan mengambil dompet atau apa saja dari saku orang-orang yang lengah. Untuk keahlian ini, Pardi pernah masuk sel tahanan dua sampai tiga kali.

Suatu ketika saat keluar dari penjara Pardi tidak memiliki apapun. Tidak ada jemputan keluarga. Tidak ada uang. Pardi hanya memiliki pakaian yang melekat di badannya. Berjalan seharian dibawa langkah kaki tanpa kepastian membuat lambungnya mengaum. Ususnya melilit. Pardi lapar. Rupanya iblis tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Iblis seolah membisikkan sesuatu ke dalam pikiran Pardi. Iblis memberikan inspirasi cara memperoleh makanan.

Pikran “kreatif” dari kepalanya menciptakan ide jahat untuk mempertahankan hidupnya. Di pembuangan sampah Pardi mengambil kardus. Diisinya dengan potongan batu bata. Kardus diikat rapi. Pardi lalu berjalan mantap ke sebuah warung makan sambil menenteng kardus. Pardi memesan nasi. Pardi makan. Setelah makan Pardi mendekati pemilik warung dan mengaku baru sadar kalau dia kehilangan uang. Pardi minta waktu untuk mencari pinjaman kepada temannya dengan kardus sebagai jaminan. Tampang Pardi yang tampak polos menerbitkan kepercayaan pemilik warung. Pardi pergi dengan aman dan tak mungkin kembali ke warung itu.

Keluar dari penjara tidak membuat hidup Pardi berubah. Dia tetap Pardi dengan segala kebiasaan yang terbentuk oleh lingkungan dan tuntutan hidup. Masih demi menyambung hidup, Pardi pernah menerima tantangan uji nyali dari sesama gelandangan untuk makan di toilet umum. Tai berserakan memenuhi kloset yang tidak pernah disiram. Jorok. Menjijikkan. Pardi menghabiskan makanannya dan mendapatkan imbalan untuk hidup sehari.

Pardi menjalani hari-harinya dalam tempaan pengalaman hidup yang kegetirannya hanya dapat dibayangkan orang yang hidup bersamanya. Namun kegetiran itu justru memantik kemampuan berfikirnya untuk menemukan jalan menuju pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kecuali kebutuhan papan sebagai gelandangan, Pardi harus berjibaku dengan keadaan untuk memenuhi kebutuhan organ pencernaannya. Di lingkungan keras itu Pardi menemukan gagasan baru yang terkesan santun dan bermoral tetapi tetap saja jahat.

Pardi lahir dengan postur tubuh pendek, kurus, dan kulit legam, selegam masa lalunya. Kalau berdiri betisnya melengkung ke belakang. Pardi harus menerima takdir dengan penampilan yang layak dikasihani. Wajahnya selalu tampak memelas. Rupanya keadaan itu bagi Pardi merupakan keuntungan sekaligus sumber dosa.

Pardi menyusun skenario untuk dipentaskan di hadapan calon korbannya. Pardi berperan sebagai orang kampung polos. Pura-pura nyasar dan kecopetan. Kepada calon korbannya Pardi bertanya arah jalan pulang dan mengaku tidak punya ongkos. Tanpa mengeluarkan ekspresi sedih wajah Pardi memang sudah menyedihkan. Sisi kemanusiaan sang korban tentu saja terketuk melihat Pardi dengan wajah menyayat hati. Korban tergerak merogoh sakunya dan Pardi terhindar dari bencana kelaparan.

Pada akhirnya Pardi sadar tidak mungkin hidupnya terus-menerus di jalan. Dia bertekad menjalani kehidupan normal. Pardi ingin beranak pinak. Dia lalu pulang kampung dan menikahi perempuan sekampungnya.

Kini lima kali sehari Pardi memanggil umat untuk menanggalkan semua bentuk kesibukan duniawi selama beberapa menit. Suaranya tidak semerdu Bilal bin Rabbah atau Abu Mahdzurah, muazzin yang hidup pada zaman Nabi SAW, tetapi lantunan suara azan itu setidaknya menghapus masa lalunya yang muram.

Di sisa umurnya masjid menjadi rumah keduanya. Sapu, kain pel, sabun pembersih ubin, dan mikrofon Toa adalah kerabat dekatnya. Imbalannya sebagai marbot tidaklah dapat menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi, Pardi merasa menemukan keindahan ilahiyah dalam hidupnya. Di usianya sekarang, Pardi sadar langkah kakinya semakin dekat dengan ujung jalan. Dan matanya menangkap cahaya kebajikan pada jalur yang ditempuhnya.

Ahad, 16 Januari 2022

Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Dokpri Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda ...