Tampilkan postingan dengan label Akademik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akademik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 November 2022

Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Dokpri

Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda pembahasan dalam rapat tersebut adalah pelaksanaan Penilaian Akhir Semester (PAS). Menjelang pelaksanaannya, PAS selalu saja menjadi perdebatan dan polemik yang tidak pernah usai. Permasalahan yang diperdebatkan selalu berkutat pada siapa yang menyusun soal, tim yang akan melakukan penyuntingan soal, bagaimana menggandakannya, jasa percetakan mana yang akan ditunjuk menggandakannya, sampai teknis pengawasan pelaksanaan penilaiannya.

Jika kembali kepada tugas pokok dan fungsi guru, perdebatan tersebut seharusnya sudah final. Dalam Permendikbud nomor 15 tahun 2018 jelas termaktub bahwa guru memiliki kewajiban untuk:

a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan, b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan, c). menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan, d) membimbing dan melatih peserta didik, dan, e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai beban kerja guru.

Salah satu tugas yang tidak perlu diperdebatkan lagi dalam peraturan tersebut adalah penilaian pembelajaran. Tugas ini merupakan tugas yang terintegral dengan tugas guru sebagai pemimpin dan manajer pembelajaran.

Penilaian pembelajaran adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Pengumpulan informasi tersebut dilakukan melalui berbagai teknik penilaian, menggunakan berbagai instrumen, dan berasal dari berbagai sumber. 

Pengertian penilaian pembelajaran di atas mengisyaratkan bahwa dalam melakukan penilaian pembelajaran guru harus menentukan teknik penilaian, membuat alat ukur atau menyusun soal, dan menganalisis hasil penilaian.

Akan tetapi, dalam prakteknya terjadi kesepakatan yang berbeda. Setiap kali pelaksanaan penilaian, penyusunan soal selalu dilakukan oleh sebuah tim yang dianggap memiliki kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tim ini diklaim memiliki pemahaman yang cukup untuk membuat soal-soal yang sesuai dengan kaidah penyusunan soal yang berlaku.

Kesepakatan ini pada didasari oleh sejumlah argumen yang bersifat purba dan selalu menjadi dasar kesepakatan. 
Berdasarkan catatan saya argumen itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat yang sama, saya mencoba menyertainya tanggapan kritis dalam rangka mencari titik temu terhadap permasalahan penilaian.
 
Pertama, penilaian harus mampu mengukur kemampuan siswa secara keseluruhan. Argumen ini mengharuskan adanya parameter penilaian yang bersifat universal untuk menentukan kualitas hasil pembelajaran siswa pada wilayah tertentu, misalnya, tingkat kecamatan. Parameter itu berupa soal-soal yang bersifat seragam pada setiap sekolah.

Argumen ini perlu diluruskan. Harus disadari bahwa prinsip keseragaman dalam pembelajaran sudah harus ditinggalkan. Setiap sekolah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kemajuan belajar setiap sekolah tidak selalu sama. Jika penilaian pembelajaran menggunakan alat ukur yang sama tentu tidak relevan.

Kurikulum merdeka mengisyaratkan bahwa pembelajaran harus memperhatikan karakteristik peserta didik, seperti, kemampuan, kebiasaan belajar, sampai lingkungan sekolah. Seharusnya ada kesepahaman bahwa perkembangan belajar siswa di setiap sekolah berbeda-beda. Hal ini harus diterima sebagai sebuah realitas. Oleh karena itu, melakukan penilaian dengan menggunakan instrumen yang sama pada setiap sekolah perlu dipertimbangkan. 
Hal lain yang tidak kalah penting dalam penilaian adalah prinsip keadilan. Saat penilaian dilakukan dengan alat ukur yang sama, pada saat yang sama, penilaian seperti ini sebenarnya telah mengabaikan prinsip keadilan. 

Ke dua, ada anggapan bahwa terdapat kecenderungan dimana kemampuan guru menyusun soal penilaian masih sangat rendah. Sebagian besar guru tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk membuat soal-soal yang dipersyaratkan.

Anggapan ini seharusnya menjadi bahan refleksi semua pihak bahwa kurangnya kemampuan guru menyusun soal penilaian karena guru tidak pernah diberikan kepercayaan untuk menyusun soal sendiri. Sejauh ini tugas penilaian itu telah diambil alih oleh sekelompok orang atas alasan yang kurang relevan. Hal ini tentu saja akan membuat guru kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri.

Hal lain yang penting untuk dijadikan bahan refleksi adalah pentingnya pengembangan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan. Jika guru dianggap kurang mampu menyusun soal penilaian seharus hal ini menjadi sasaran pengembangan oleh pihak-pihak yang berkompeten.

Fungsi pembinaan dan pengembangan oleh organisasi profesi dan pemangku kepentingan seharusnya dapat memberikan sentuhan terhadap aspek-aspek yang memerlukan pembenahan.
Sudah saatnya semua pihak bahu membahu memperbaiki kekurangan. Kemajuan pendidikan tidak dapat dicapai dengan saling menyalahkan. Semua elemen mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Ke tiga, penyusunan dan penggandaan soal yang dilakukan oleh guru pada masing-masing sekolah membutuhkan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan penyusunan oleh sebuah tim dan penggandaan soal dilakukan secara kolektif.

Jika berbicara soal biaya memang penting untuk menempatkan efisiensi. Namun, dalam sudut pandang yang berbeda gagasan ini dapat direduksi. Ada hal yang lebih penting dari faktor pembiayaan yaitu pengembangan kemampuan guru dan prinsip keadilan dalam penilaian pembelajaran.

Semango, 19 November 22 

Rabu, 19 Januari 2022

Pembelajaran Matematika

Sumber gambar : http://www.yayasanponpes-abumanshur.com/2019/01/pelajaran-matematika-itu-menyenangkan.html

Matematika secara umum dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang sulit. Anggapan itu membuat mata pelajaran ini menjadi sesuatu yang unik. Keunikan itu terletak pada dua efek psikologis paradoksal yang ditimbulkannya. Matematika di satu sisi memberikan kebanggaan sekaligus ketakutan di sisi lainnya.

Berkembangnya persepsi bahwa Matematika sebagai mata pelajaran sulit, menumbuhkan kebanggaan tersendiri pada diri siswa ketika memiliki kemampuan lebih pada mata pelajaran ini. Kebanggaan itu tidak saja mewarnai kesadaran siswa melainkan juga guru dan orang tua. Anak-anak dianggap memiliki keunggulan istimewa jika mendapat nilai istimewa pada pelajaran tersebut. Pada saat yang sama, pandangan bahwa Matematika itu sulit, juga membuat kebanyakan siswa menjadi alergi ketika mendapatkan tugas menyelesaikan soal-soal matematika. Siswa seakan mengalami semacam sindrom yang membuat mereka bersikap skeptis, kurang berminat, dan tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Matematika Phobia mungkin sebuah istilah yang tepat untuk mewakili rasa takut tersebut.

Munculnya Matematika Phobia sesungguhnya sebuah efek psikologis yang pemicunya bukan akibat kesalahan siswa dan tingkat kesulitan matematika itu sendiri. Phobia tersebut lebih disebabkan oleh pemilihan metode, pendekatan, dan media yang kurang tepat (bahkan nir-media) dalam proses pembelajaran.

Sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejauh ini pembelajaran paling klasik dan paling umum yang digunakan adalah pembelajaran yang bersifat verbal. Guru, di satu pihak, menjelaskan dan memberikan gambaran secara lisan sebuah materi pelajaran dan, di pihak lain, siswa “dipaksa” memahami penjelasan panjang lebar yang disampaikan guru. Siswa sering ditempatkan sebagai obyek pasif yang sekadar menjadi sasaran dari sebuah proses pembelajaran tanpa mengikuti proses itu secara utuh. Pembelajaran verbal memang bukan sebuah aib tetapi ketika seluruh proses pembelajaran didominasi oleh pembelajaran semacam ini tentu akan menghilangkan kesempatan siswa untuk menikmati kegiatan pembelajaran dengan cara-cara yang menyenangkan.

Para ahli bersepakat bahwa pembelajaran akan bermuara pada titik yang memuaskan jika prosesnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dalam suasana kebatinan yang menyenangkan. Sebaliknya, hasil belajar akan sulit dicapai secara optimal jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menakutkan, kaku, dan menjemukan.

Dalam berbagai literatur, konsep pembelajaran menyenangkan dirumuskan dalam untaian kalimat yang beragam. Akan tetapi keragaman rumusan itu mengandung esensi dan pengertian yang sama. Pembelajaran menyenangkan adalah pembelajaran yang tidak membuat siswa merasa takut salah dan takut ditertawakan. Pembelajaran memantik  keberanian siswa untuk mencoba dan berbuat, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat, dan berani mempertanyakan gagasan orang lain. Pembelajaran menyenangkan tidak terikat pada proses belajar yang kaku dan membosankan. Pembelajaran menyenangkan tidak memasung semangat belajar dan mengebiri rasa ingin tahu siswa. Dalam proses pembelajaran menyenangkan siswa merasa "at home", siswa harus merasa kerasan.

Lalu bagaimana merancang dan melaksanakan pembelajaran agar menyenangkan? Mungkin salah satu cara yang patut dicoba adalah dengan membagikan uang pada siswa lalu disuruh beli jajan dan makan jajan itu sampai jam pelajaran Matematika berakhir.

Berdasarkan dugaan sementara, ini dijamin menyenangkan. Sesekali tanggalkan keseriusan paripurna itu. Keluarlah dari cangkang dan tertawalah terbahak-bahak.

Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Dokpri Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda ...