Rabu, 26 Oktober 2022
Membangun Kerja Tim
Rabu, 26 Januari 2022
Peresean, Adu Cambuk dalam Sportivitas
sumber gambar https://bit.ly/3g02UlY
Peresean atau perisean merupakan sebuah olah raga ekstrem yang sudah berkembang sejak abad ke 13 pada masyarakat Sasak (Lombok). Olahraga ini merupakan pertarungan dua laki-laki dengan senjata tongkat yang terbuat dari rotan (penjalin: Sasak). Petarung dalam budaya adu cambuk ini dilengkapi dengan ende (perisai) atau pelindung yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang telah mengeras.Petarung itu disebut pepadu. https://id.wikipedia.org/wiki/Peresean
Pertarungan peresean dilakukan di ruang terbuka. Peresean dipimpin pekembar (wasit). Pepadu dipilih secara acak oleh pekembar pada saat peresean digelar. Saat bertarung pepadu mengenakan ikat kepala, tanpa baju, dan kain yang dililitkan di pinggangnya. Peresean berlangsung selama 3-4 ronde untuk setiap pertarungan. Aturan main peresean paling penting adalah pepadu hanya memperbolehkan menyerang lawan pada anggota tubuh dari pinggang ke atas. Saat pertarungan berlangsung, kelompok penabuh gamelan memainkan alat musik khusus peresean yang menyulut semangat keberanian dan membakar ambisi meundukkan lawan.
Pertarungan akan berakhir jika salah satu petarung mengalami “pecok”. “Pecok” adalah sebuah kondisi pendarahan pada petarung karena terkena pukulan pada bagian kepala. Jika berhasil membuat lawan “pecok” maka seorang pepadu dianggap sebagai pemenang. Pada saat yang sama, pepadu yang “pecok” akibat pukulan lawan dianggap kalah. Pertarungan juga dapat dihentikan jika salah satu pepadu mengalah apabila merasa tidak kuat melanjutkan peresean atau pertarungan dihentikan pekembar.
Menurut para tetua dan cerita turun menurun, di masa lalu peresean merupakan sebuah ritual yang disakralkan. Dalam masyarakat sasak, peresean merupakan ritual minta hujan saat mengalami kemarau. Itu sebabnya, peresean dilaksanakan pada ujung musim kemarau. Sekarang peresean tidak lagi menjadi ritual tetapi tetap menjadi salah satu tradisi bela diri yang terus dikembangkan. Bahkan pemerintah mendukung pengembangannya dengan menyelenggarakan event pada level daerah. Semua pepadu terkenal dari berbagai tempat di Lombok diundang untuk meramaikan event tersebut.
Anak-anak sasak di masa lampau akrab dengan peresean. Saya ingat betul, keindahan masa kecil saya diwarnai dengan peresean. Senjatanya tentu bukan penjalin tetapi pelepah pisang yang telah kering. Sebagian dari anak-anak yang mampu bertahan dari rasa sakit, sepakat menambahkan sapu lidi ke dalam pelapah pisang agar senjata lebih keras. Ende atau perisainya bisa apa saja. Pilihannya bisa sarung yang digulung pada lengan kiri, anyaman bambu yang yang dirancang seperti sebuah perisai, atau nyiru tak terpakai yang dimodifikasi menjadi ende. Dari sinilah pepadu itu tumbuh. Saat beranjak remaja mereka mulai tampil pada peresean antar kampung. Demikian seterusnya sampai pada skala peresean yang lebih besar.
Menjadi pepadu peresean tidaklah mudah. Sebagaimana olahraga ekstrem pada umumnya pepadu harus memiliki nyali dan kemampuan bertahan dari rasa sakit. Pecok bagi seorang pepadu biasa. Mereka harus siap menerima bilet (bekas pukulan cambuk, dan sejenisnya).
Seagaimana kepercayaan masyarakat masa pra-industri pada umumnya, seorang pepadu biasanya membekali diri kemampuan mistis yang dipercaya mampu menggandakan energi dan menyedot energi lawan.
Tidak ada seleksi formal yang membawa seorang laki-laki suku Sasak untuk mendapatkan predikat pepadu. Tidak ada sasana tempat menempa diri dan tidak ada sertifikasi pepadu. Seorang petarung peresean “dinobatkan” sebagai pepadu benar-benar melalui “seleksi alam”. Pepadu belajar memukul lawan di ruang pertarungan sesungguhnya. Belajar dan bertarung menjadi satu kesatuan. Pepadu berlatih di arena sekaligus bertarung menggunakan penjalin. Pepadu beraksi di arena pertarungan sambil belajar memaksimalkan memainkan perisai (ende), meningkatkan kemampuan berkelit, dan belajar bagaimana membuat lawan “pecok”. Makin sering seorang pepadu terlibat dalam pertarungan makin piawai dia memainkan penjalin, menggunakan ende, dan menaklukkan lawan. Tidak seperti olahraga ekstrem pada umumnya, saat akan mengikuti sebuah peresean pepadu tidak perlu berlatih karena mereka telah terlatih. Pepadu kawakan bahkan selalu siap turun arena kapan saja mereka diminta bertarung.
Pepadu peresean tidak saja memiliki kemampuan menyerang dan bertahan. Mereka juga melengkapi diri dengan kematangan emosional. Saat bertarung dua pepadu memiliki ambisi yang sama–menundukkan lawan, meninggalkan bilet pada tubuh lawan, atau membuat pecok atau mengucurkan darah pada pepadu lawan. Tetapi di luar arena ketika pertarungan usai dua pepadu dapat ngopi, merokok, dan makan bersama. Di sinilah sportivitas peresean dijunjung tinggi. Dalam arena peresean dua pepadu adalah lawan. Di luar arena mereka menjadi kawan. Tidak ada dendam yang dibawa keluar dari kancah pertarungan.
Selasa, 25 Januari 2022
Iseng
Kriteria umum grup yang saya gandrungi adalah WAG yang memberikan infromasi tentang hal-hal positif, seperti, webinar, diklat, atau bimtek online.
Salah satu WAG yang saya ikuti adalah Belajar menulis 24 yang dinakhodai oleh Wijaya Kusumah, seorang blogger, penulis, tariner, motivator, dan pehembus pikiran-pikiran positif kepada orang lain.
Belajar menulis yang dilakukan secara maya melalui aplikasi whatsapp itu menarik perhatian saya. Dalam WAG yang beranggotakan sekitar 250 orang itu berkumpul orang-orang yang hidup dengan semangat dan optimisme yang menjulang. Mereka merupakan para pembelajar yang terus menerus dirundung kehausan dan kelaparan dalam dunia tulis menulis.
Pertemuan ke 1 sampai ke 2 saya tidak mengikuti kegiatan secara maksimal. Ini disebabkan oleh beberapa kegiatan lain yang harus saya ikuti. Hari pertama dan kedua, tidak belaka saya harus membuat resume sebagai tugas belajar menulis tetapi juga harus menjalani peran sebagai narsum dalam Bimtek TIK dan akun belajar.id yang mulai booming sejak pembelajaran masa pandemi. Pertemuan ke 3 belajar menulis saya dihadapkan pada kegiatan rapat koordinasi--masih secara maya--rencana diklat penyusunan asesemen pembelajaran paradigma baru. Belum lagi saya harus menuntaskan laporan keuangan dalam rangka audit keuangan sekolah oleh instansi berwenang.
Malam ke 4 belajar menulis saya sudah sepakat mengikuti coaching dengan pelatih ahli sekolah penggerak secara daring. Ingat dengan kesepakatan itu, saya buru-buru pulang dari masjid meninggalkan anak-anak asuh saya yang belajar ngaji al-Qur’an sedang antre menunggu bimbingan. Untung ada guru ngaji lain yang sedang bertugas menggantikan saya.
Tiba di rumah saya buka laptop dan menuju tab whatsapp web untuk mencari tautan link meet yang dikirim pelatih ahli. Untung tak dapat diraih. Malang tak dapat ditolak, Saya mendapati pesan japri dari pelatih ahli bahwa beliau berhalangan karena ada kegiatan lain yang harus diikuti.
Saya lanjutkan membuka WAG “Belajar menulis 24”. Moderator, Bu Widya, sudah mulai membuka kegiatan dengan menyampaikan susunan acara dan menjelaskan profil dan karya puisi narsum. Setelah dipersilakan moderaror, narsum mulai menyampaikan materi.
Dulu sekali saat saya masih lajang, saya merupakan kutu buku. Saya sering lupa makan dan rokok kalau sudah mulai membaca. Sekarang saya bukan kutu buku lagi. Malas baca. Sikap malas itu juga muncul saat menbaca materi yang disampaikan Narasumber. Saya hanya membaca beberapa pesan penting saja. Maafkan saya Narsum.
Dalam sergapan kemalasan itu saya mulai menulis resume. Saya berusaha menulis secepatnya agar dapat menempati posisi tertinggi dalam pengumpulan resume. Sayang seorang peserta bernama Mutmainah menjadi penulis resume tercepat. Saya sendiri baru sampai pada pertengahan narasi ketika resume pertama diposting. Saya terus menulis dengan mengutip beberapa materi inti narsum. Saya juga melakukan teknik browsing untuk mendukung resume yang saya tulis.
Notifikasi kiriman resume ke 2 dan ke 3 muncul secara berurutan di sisi kiri chromebook yang saya gunakan. Jemari saya terus menari menjalankan perintah untuk menuliskan lambang bahasa sebagai sebagai representasi pikiran saya. Saya terus menulis hingga akhir paragraf.
Setelah saya anggap cukup, resume yang saya ketik pada google doc saya salin dan dipindahkan ke blog sebagai postingan baru. Saya klik “publikasikan” untuk menuntaskan tugas. Saya copy link resume dan saya kirimkan di grup dengan urutan ke 4 salam daftar tugas. Saya klik menu preview untuk melihat tampilan blog setelah terkirim. Ternyata saya belum memasukkan poster pelatihan hari ke 4 pada halaman resume. Saat mencoba melakukan editing, sebuah pesan dari moderator meminta alamat saya karena mendapat hadiah dari nara sumber. Apakah karena resume terbaik. Entahlah. Padahal resume yang saya tulis tidak terlalu panjang.
Akan tetapi, saya patut berterima kasih kepada moderator dan narsum yang telah memberikan hadiah buku. Dua sosok hebat di grup BM 24 telah menumbuhkan kembali tunas semangat baca saya yang telah lama layu.
Semango, 25 Januari 2022, 00.28
Senin, 24 Januari 2022
Bocah usil
Dua hari berturut-turut dalam minggu ini saya harus menekan kejengkelan paripurna. Saat itu siang telah menua. Matahari sudah meninggalkan titik kulminasinya. Saya keluar dari pintu menuju mesin 4 langkah yang akan membawa saya pulang.
Saya naik jok menancapkan kunci. Kaki dan tangan saya bekerja menjalankan fungsinya masing-masing untuk menghidupkan mesin secara manual. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya kaki saya terus menggenjot tangkai starter. Pada saat yang sama, tangan kanan saya memutar gas mengimbangi genjotan kaki. Serasa tidak ada percikan api pada busi. Kaki ini sudah pegal tetapi mesin tidak juga hidup. Saya berfikir mungkin businya mati. Saya menunduk memeriksa busi. Saya tersenyum kecut melihat tutup busi tidak terpasang pada tempatnya. Lepas.
"Ini pasti ulah bocah usil", fikir saya sambil mencoba menghidupkan mesin.
"Geruuuuung. Geruuuuung..!" mesin keluaran masa lalu hidup.
Saya tancap gas. Pulang. Belum sampai 💯 meter mesin menunjukkan gejala kehabisan bahan bakar. Padahal sehari sebelumnya saya isi full tanki dengan BBM paling lux di kelasnya.
Saya berhenti memeriksa kran BBM. Saya terperangah. Krannya mengatup. Pantas saja. Saya kembali bergumam lagi, "Ini pasti ulah bocah usil."
Hal yang sama terjadi pada hari keesokan harinya. Kali mesin hidup normal. Tetapi belum 💯 meter roda berputar, gejala kehabisan BBM timbul lagi. Refleks ingatan saya membayangkan kejadian kemarin. Kran BBM. Benar. Posisi kran tertutup.
"Dasar bocah-bocah usil!"
Tayang 25 Juni 2021 pada https://www.facebook.com/100004318352255/posts/2221869904633600/
Nostalgia Hisponwadi
Santri yang tinggal di asrama Hisponwadi tidak dipungut biaya apapun. Bangunannya dibuat sendiri oleh wali santri. Kalau mereka tamat akan diisi oleh santri baru. Demikian siklus penghuninya.
Bentuknya sangat sederhana. Tiangnya terbuat dari bambu. Atapnya bombong (daun kelapa). Dindingnya pagar bambu. Lantainya tanah. Jika pulang liburan seminggu saja santri akan menemukan cendawan tumbuh subur di lantai bawah tempat tidurnya saat kembali ke asrama. Mungkin penyebabnya karena lantai tanah selalu lembab.
Tempat tidur penghuninya rata-rata dipan kayu. Di atasnya terhampar tikar pandan sebagai alasnya. Beberapa santri menggunakan lincak (tempat tidur dari bambu). Kaki lincaknya ditanam sehingga posisinya tidak bisa dipindahkan. Tidak ada kasur apalagi spring bed. Saat mengubah posisi tidur lincak itu akan mengeluarkan irama derit yang mengimbangi nyanyian serangga malam.
Kesederhanaan itu digenapkan dengan remang cahaya lampu minyak pada malam hari. Kalau sumbu lampu itu ditarik lebih panjang nyalanya membesar dan memicu terbangnya jelaga yang membuat hidung dan area sekitar wajah akan menghitam saat belajar. Santri sekarang tentu tidak dapat membayangkan bagaimana penghuninya belajar dengan dukungan lampu minyak yang hanya mampu menghasilkan cahaya remang-remang.
Satu hal yang masih membekas dalam kesadaran saya sebagai bagian dari kehidupan santri kala itu adalah semangat menuntut ilmu tidak seremang lampu yang kami gunakan. Sebaliknya kondisi itu seakan menjadi sumber energi yang membakar semangat belajar.
Fasilitas air sebagai kebutuhan utama hanya mengandalkan sebuah sumur timba yang berada persis di tengah asrama. Di salah satu sisi sumur terdapat sebuah penampungan air. Dari sumur itu santri mengambil air untuk masak di samping untuk wudlu. Satu dua orang memanfaatkannya untuk mandi. Penghuni asrama lebih memilih untuk mandi ke Kokok Tojang atau Sanggeng.
Tidak ada toilet di asrama. Maka saat otot-otot anus bergerak refleks mendorong sisa-sisa makanan dalam usus, santri bergegas ke Kokok Tojang atau Sangggeng untuk meluapkan dorongan beol. Bagi yang takut kegelapan biasanya mereka buang hajat sore atau petang hari untuk menghindari luapan limbah pada malam hari akibat proses metabolisme dalam tubuh.
Asrama Hisponwadi dihuni santri laki-laki dengan tingkat sekolah yang beragam, mulai dari tsanawiyah sampai ma'had. Latar belakang keluarga secara ekonomi dan sosial juga beragam. Keberagaman itu tidaklah membuat adanya sekat antar santri. Santri berbaur dalam semangat dan keinginan yang sama. Belajar dan menempa diri dengan ilmu dan akhlak.
Tidak saja bangunannya yang sederhana. Menu makanan juga seadanya--biasanya biji kacang-kacangan, seperti, kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang, kecipir, dan semacamnya. Kacang-kacangan itu sengaja dipilih karena dapat mudah didapat dan dapat disimpan dalam waktu lama. Semua kacang-kacangan itu dimasak dengan resep yang sama. Bumbunya cabe, bawang, tomat, dan garam secukupnya. Semua bumbu itu diulek jadi satu dalam cobek tanah liat. Kadang-kadang dicampur daun ubi jalar yang merambat di dinding asrama. Sesekali santri makan telur yang dimatangkan bersama nasi yang dimasak. Bila maulid, lebaran, dan hari besar Islam tiba, santri dilanda euforia karena makanan melimpah. Kadang-kadang kami diundang warga Pancor untuk hiziban (doa yang disusun oleh KH. Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nahdlatul Wathan Pancor NTB). Ini menjadi momen paling membahagiakan karena akan makan enak.
Saat persediaan makanan sudah habis biasanya santri pulang lalu kembali dengan memikul karung berisi beras dan berbagai jenis kebutuhan. Sebuah pemandangan yang galib masa itu jika santri bawa karung berarti baru datang dari rumah.
O, ya. Salah satu ciri khas kami saat itu adalah koreng dan kudis. Tidak seorangpun dari kami luput dari serangan penyakit yang disebabkan bakteri itu. Semua penghuni pernah diserang gatal-gatal terutama pada bagian yang tak patut untuk disebutkan.
Tahun 1985 Hisponwadi terbakar. Saat itu saya di tahun ke dua di bangku Tsanawiyah Muallimin. Tidak satupun bangunan asrama yang tersisa. Semua lenyap dimakan api yang konon bersumber dari kompor milik salah seorang santri. Semua penghuni asrama 'rarut' dan mencari tempat tinggal baru.
Secara logika, Mushalla al-Abror di sebelah timur, madrasah Muallimat di sebelah barat, dan gedung thullab ma'had di sebelah selatan mestinya ikut terbakar tetapi kobaran api tak sampai menyentuhnya.
Hisponwadi bagi saya adalah tempat paling nyaman dan paling teduh yang pernah saya temukan setelah rumah. Asrama sederhana itu menyimpan kenangan yang mengesankan. Terlepas dari belajar formal di madrarsah, di asrama itu saya banyak belajar tentang rasa sakit, keprihatinan, dan kesederhanaan sekaligus ketegaran. Asrama itu tidak saja menularkan koreng dan kudis tetapi kemandirian sekaligus kebersamaan.
Jumat, 21 Januari 2022
Card Serbaguna dan Tayamum
Setelah berhasil menjadi juara dalam festival Ketua RT teladan di negeri Antah Berantah, Amaq Sumenah diberikan kesempatan untuk menerima penghargaan langsung dari Kementerian Urusan Masing-masing. Maka dia berangkat ke ibukota negara Antah Berantah. Tentu saja fasilitas penginapan telah disiapkan. Tidak tanggung-tanggung, Amaq Sumenah menginap di hotel bintang toejoe (poesing).
Saat check in, resepsionis cantik menyodorkan sebuah kartu kepada Amaq Sumenah. Dia sama sekali tidak berfikir bahwa kartu itu multifungsi.
Petantang petenteng Amaq Sumenah menuju pintu lift yang akan mengangkatnya sampai lantai sekian bangunan hotel pencakar udara itu. Tentu saja dia tidak sendiri. Sejumlah ketua RT dengan status perokok super aktif seperti Amaq Sumenah mendapatkan layanan kamar spesial.
Di lantai tujuan Amaq Sumenah tengak tengok mencari nomor kamar. Setelah mondar mandir macam setip pensil 2b akhirnya nomor kamar ditemukan. Tidak ada kunci di pintu. Hanya sebuah kertas bertuliskan “kamar ini sudah distrerilisasi” menjuntai di gagang kunci pintu.
Karena terlihat bingung sendiri di depan pintu, tamu hotel di depan kamarnya menawarkan jasa untuk membantu membuka pintu. Tamu itu mengambil kartu kamar dari Amaq Sumenah lalu ditempelkan pada kunci pintu sekaligus membukanya.
Saat masuk kamar lampu mati. Hal pertama yang dicari Amaq Sumenah tentu saja saklar. "Cetak.. cetok.. cetak.. cetok..!" Dia menekan sejumlah saklar yang ada dalam ruangan. Tidak satupun lampu nyala.
"Listrik hotel berbintang kok bisa korslet juga," Amaq Sumenah menggerutu pada dinding ruangan dan lampu kamar. Bantal, kasur, dan tipi LED yang menempel dengan anggun di salah satu dinding ruangan tidak luput dari gerutunya. Semua benda mati itu seakan ingin memberikan petunjuk. Tetapi barang-barang itu seperti sekumpulan orang tersedak.
Amaq Sumenah mencoba menenangkan diri dengan menyulut sebatang rokok lintingan tembakau 'bireng leceng'. Kepulan asap itu membuat pikirannya mulai sumringah. Dia kembali menekan-nekan saklar satu persatu. Tetap saja lampu-lampu itu tidak memiliki respon apapun.
Dalam situasi itu sifat sok pintar dan keangkuhannya luluh bagai lilin disulut api. Dia putuskan menghubungi ketua RT lain yang dikenalnya dan memberitahu kondisi listrik di kamarnya. Atas petunjuk temannya, Amaq Sumenah diminta memasukkan kartu ke lubang Energy Saving Switch (saklar listrik kartu) di dekat pintu kamar.
“Tareraaaang..!” Ruangan hotel terang benderang dalam satu tarikan napas setelah kartu itu dicelupkan. Semua lampu menyala. Dicabutnya kembali kartu itu dan dilempar ke atas meja. Sebelum kartu itu menghempas meja, lampu mati lagi. Amaq Sumenah mengambil kembali kartu itu dan memasukkannya ke kotak saklar. Lampu menyala. Dia melakukan hal yang sama sampai beberapa kali--memasukkan kartu dan mencabutnya kembali setelah lampu menyala. Nyala dan padam.
Karena semua lampu menyala, Amaq berasumsi bahwa listrik tidak kuat. Dicobanya mematikan sebagian lampu lalu kartu dimasukkan dan dicabut lagi. Tetap saja lampunya mati setelah kartu dicabut. Dia masih berfikir bahwa kapasitas listrik tidak kuat. Kali ini semua lampu dimatikan. Untuk mengontrol kondisi listrik, di-carge-nya smartphone yang memang sudah lowbat. Kartu masukkan. Arus listrik di smartphone tersambung.
Serangkaian eksperimen itu membawanya kepada sebuah kesimpulan bahwa kartu yg sdh dicelupkan tidak boleh dicabut kembali. Maka tindakan terakhir yang dia lakukan adalah membiarkan kartu itu dalam liangnya. Ternyata betul. Listriknya menyala tanpa mengeluh selama kartunya tidak dicabut.
Kisah belum selesai. Amaq Sumenah melangkah menuju “jeding” untuk wudlu' shalat ashar. Sebuah kran di mulut wastafel seakan menunggu kehadirannya. Dengan sedikit mengangkat ujung kran air mengucur keluar. Awalnya dingin tetapi arus air berikutnya mulai terasa hangat bahkan cenderung panas. Kran ditutup lagi. Beberapa saat berikutnya kran dia buka lagi. Suhu air masih panas. Kran ditutup lagi. Begitu seterusnya. Air tetap saja panas. Akhirnya Amaq Sumenah mengambil keputusan untuk tayamum.
Jangan percaya sepenuhnya pada cerita ini. Sisakan kepercayaan itu untuk pasanganmu.
Diunggah pada tgl 22 Mei 2021 pada Beranda Facebook
https://www.facebook.com/100004318352255/posts/2196119623875295/
Catatan:
Amak dalam bahasa Sasak berarti ayah. Kata di belakang Amaq disematkan berdasarkan nama anak paling sulung.
Selasa, 18 Januari 2022
Pemimpin Gerombolan
Menurut para pemerhati alam permonyetan, pemimpin gerombolan itu kepala puncak dalam sebuah satuan kelompok permonyetan pada level terendah.
Kepemimpinan monyet juga memiliki hirarki. Di atas pemimpin gerombolan ada pemimpin yang lebih tinggi, sebut saja pemimpin kawanan. Di atas pemimpin kawanan ada pemimpin lebih tinggi yang memimpin masyarakat permonyetan secara umum. Anggap saja sebutannya pemimpin monyet.
Pemimpin gerombolan merupakan pemimpin yang berdiri di garis terdepan dalam dinasti monyet. Pemimpin ini secara langsung bersentuhan dengan warga monyet. Dalam undang-undang permonyetan, pemimpin gerombolan itu semacam jabatan yang memiliki kebebasan penuh (dan bertanggungjawab) atas penyelenggaraan kepemimpinan pada tingkat gerombolan.
Dalam banyak hal pemimpin gerombolan hakikatnya tidak dapat diintervensi dalam mengekspresikan kebijakannya untuk mencapai visi dan menjalankan misi gerombolannya. Ia memiliki kebebasan untuk mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki gerombolan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku. Maka, sebagai pemimpin yang memiliki otoritas penuh, pemimpin gerombolan monyet dituntut memiliki kompetensi kepemimpinan yang kuat.
Satu hal yang harus diyakini, pemimpin gerombolan monyet harus membekali diri dengan integritas--sebuah karakter personal yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.
Kewibawaan sebagai bentuk integritas tidak saja terpancar dalam lingkungan internal gerombolan tetapi harus mampu menembus batas ruang yang lebih luas. Cahaya kewibawaan itu harus menjangkau area gerombolan lain dalam dunia permonyetan. Pantulan integritas itu juga bahkan seyogyanyalah mencapai ketinggian. Cahaya itu harus dapat dipantulkan sampai ke ruang kerja pemimpin monyet. Pendek kata berintegritas secara horizontal dan secara vertikal.
Kenyataan di hutan belantara menunjukkan, pemimpin gerombolan monyet kerap kehilangan integritas dalam menjalankan regulasi gerombolannya. Mereka acapkali harus tunduk pada tendensi pemimpin kawanan dan pemimpin monyet. Pemimpin gerombolan dan anggota gerombolannya acapkali dipaksa mengenakan jubah keledai padahal bentuk fisik monyet sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan jubah keledai.
Minggu, 16 Januari 2022
Pardi
Dalam seminggu dua sampai tiga pagi Pardi tidak langsung pulang usai shalat subuh. Jam delapan sampai jam sembilan dia masih di masjid. Apa yang dilakukannya? Pardi masih memainkan sapu dan alat pel ke lantai masjid sampai tak ada debu yang melekat. Tidak saja lantai tetapi juga pintu, jendela, hingga plafond menjadi sasaran kerjanya.
Segala sesuatu yang berpotensi membuat masjid kumuh dibersihkannya. Cecak-cecak yang berkeliaran di langit-langit dan dinding masjid diburunya. Tak kurang akal, cecak yang tak terjangkau ditangkapnya dengan sapu bertangkai panjang. Cecak yang jatuh ke lantai segera disergapnya. Sebelum binatang itu sempat memutuskan ekornya untuk menyelamatkan diri, tangan Pardi dengan sigap sudah menangkapnya. Pardi merasa harus menyingkirkan hewan yang menurut sebuah riwayat pernah hampir mencelakai kehidupan Nabi Agung Muhammad SAW. Hewan itu berak sembarangan. Beraknya najis dan menyebabkan shalat tidak sah kalau melekat pada pakaian atau terinjak kaki.
Demikianlah rutinitas Pardi, marbot masjid. Tidak heran jika ubin masjid selalu bersih dan mengkilap. Saking bersihnya, kalau Tuan dan Nyonya rebahan di ubin itu tanpa alas dengan mengenakan baju putih, dapat dipastikan akan bangun dengan baju putih tanpa warna lain. Pardi, laki-laki bertubuh mungil, memiliki kisah hidup dengan masa lalu yang muram. Lahir dan tumbuh dalam keluarga papa dan menjalani kehidupan kanak-kanak pada masa paceklik. Pardi menjalani masa kecil dimana negerinya masih merangkak dalam banyak aspek kehidupan. Sepetak sawah milik orang tuanya tidak bisa membantunya bertahan hidup karena masa itu belum ada penggunaan teknologi pertanian seperti sekarang ini. Situasi itu mengharuskan Pardi hidup sebagai petualang sejak kecil. Dia tinggalkan kampung halaman untuk melanjutkan hidup karena di tanah kelahirannya tak menjanjikan harapan apapun. Dalam usia yang masih sangat belia Pardi berangkat ke kota.
Di kota Pardi berjumpa dengan kehidupan cadas. Pardi hidup menggelandang. Tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sering pagi-pagi Pardi harus kena damprat karena masih tidur terkulai dan menghalangi jalan pemilik toko yang hendak buka. Kehidupan cadas itu membawa Pardi kepada persaingan hidup yang tidak jarang membuatnya tidak bisa menghindar dari adu jotos dengan sesama gelandangan.
Segala kerja dilakoni. Jualan kue, kuli panggul, kernet, sampai menjadi pemulung. Sesekali dengan hati yang perih Pardi mengemis. Dalam kesempatan lain Pardi membawa potongan kain lusuh ke tempat-tempat parkir. Dengan kain itu dibersihkannya kendaraan yang sedang diparkir. Dipilihnya kendaraan yang tidak jauh dari pemiliknya agar bisa membuktikan layanan jasanya dan punya alasan menengadahkan tangan untuk minta upah demi melanjutkan hidup hari itu. Tidak semua pemilik kendaraan bersedia menerima jasanya. Tidak jarang Pardi bertemu wajah sinis yang tidak ingin kendaraannya disentuh apalagi dilap. Orang seperti itu seakan melihat Pardi seperti makhluk menjijikkan. Pardi hanya bisa cengengesan penuh getir jika ketemu orang macam itu.
Kehidupan kota tidak saja mengajarkan Pardi hal baik melainkan juga hal buruk. Uang hasil kerjanya sering ludes dalam lemparan kartu domino atau kartu remi bersama teman- temannya. Dalam keadaan terdesak Pardi harus berdiri tegak di atas pijakannya dengan memilih cara yang tidak pantas, cara yang tidak pernah dia kehendaki. Dia harus hidup. Di tengah keramaian, tangan Pardi bekerja cekatan mengambil dompet atau apa saja dari saku orang-orang yang lengah. Untuk keahlian ini, Pardi pernah masuk sel tahanan dua sampai tiga kali.
Suatu ketika saat keluar dari penjara Pardi tidak memiliki apapun. Tidak ada jemputan keluarga. Tidak ada uang. Pardi hanya memiliki pakaian yang melekat di badannya. Berjalan seharian dibawa langkah kaki tanpa kepastian membuat lambungnya mengaum. Ususnya melilit. Pardi lapar. Rupanya iblis tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Iblis seolah membisikkan sesuatu ke dalam pikiran Pardi. Iblis memberikan inspirasi cara memperoleh makanan.
Pikran “kreatif” dari kepalanya menciptakan ide jahat untuk mempertahankan hidupnya. Di pembuangan sampah Pardi mengambil kardus. Diisinya dengan potongan batu bata. Kardus diikat rapi. Pardi lalu berjalan mantap ke sebuah warung makan sambil menenteng kardus. Pardi memesan nasi. Pardi makan. Setelah makan Pardi mendekati pemilik warung dan mengaku baru sadar kalau dia kehilangan uang. Pardi minta waktu untuk mencari pinjaman kepada temannya dengan kardus sebagai jaminan. Tampang Pardi yang tampak polos menerbitkan kepercayaan pemilik warung. Pardi pergi dengan aman dan tak mungkin kembali ke warung itu.
Keluar dari penjara tidak membuat hidup Pardi berubah. Dia tetap Pardi dengan segala kebiasaan yang terbentuk oleh lingkungan dan tuntutan hidup. Masih demi menyambung hidup, Pardi pernah menerima tantangan uji nyali dari sesama gelandangan untuk makan di toilet umum. Tai berserakan memenuhi kloset yang tidak pernah disiram. Jorok. Menjijikkan. Pardi menghabiskan makanannya dan mendapatkan imbalan untuk hidup sehari.
Pardi menjalani hari-harinya dalam tempaan pengalaman hidup yang kegetirannya hanya dapat dibayangkan orang yang hidup bersamanya. Namun kegetiran itu justru memantik kemampuan berfikirnya untuk menemukan jalan menuju pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kecuali kebutuhan papan sebagai gelandangan, Pardi harus berjibaku dengan keadaan untuk memenuhi kebutuhan organ pencernaannya. Di lingkungan keras itu Pardi menemukan gagasan baru yang terkesan santun dan bermoral tetapi tetap saja jahat.
Pardi lahir dengan postur tubuh pendek, kurus, dan kulit legam, selegam masa lalunya. Kalau berdiri betisnya melengkung ke belakang. Pardi harus menerima takdir dengan penampilan yang layak dikasihani. Wajahnya selalu tampak memelas. Rupanya keadaan itu bagi Pardi merupakan keuntungan sekaligus sumber dosa.
Pardi menyusun skenario untuk dipentaskan di hadapan calon korbannya. Pardi berperan sebagai orang kampung polos. Pura-pura nyasar dan kecopetan. Kepada calon korbannya Pardi bertanya arah jalan pulang dan mengaku tidak punya ongkos. Tanpa mengeluarkan ekspresi sedih wajah Pardi memang sudah menyedihkan. Sisi kemanusiaan sang korban tentu saja terketuk melihat Pardi dengan wajah menyayat hati. Korban tergerak merogoh sakunya dan Pardi terhindar dari bencana kelaparan.
Pada akhirnya Pardi sadar tidak mungkin hidupnya terus-menerus di jalan. Dia bertekad menjalani kehidupan normal. Pardi ingin beranak pinak. Dia lalu pulang kampung dan menikahi perempuan sekampungnya.
Kini lima kali sehari Pardi memanggil umat untuk menanggalkan semua bentuk kesibukan duniawi selama beberapa menit. Suaranya tidak semerdu Bilal bin Rabbah atau Abu Mahdzurah, muazzin yang hidup pada zaman Nabi SAW, tetapi lantunan suara azan itu setidaknya menghapus masa lalunya yang muram.
Di sisa umurnya masjid menjadi rumah keduanya. Sapu, kain pel, sabun pembersih ubin, dan mikrofon Toa adalah kerabat dekatnya. Imbalannya sebagai marbot tidaklah dapat menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi, Pardi merasa menemukan keindahan ilahiyah dalam hidupnya. Di usianya sekarang, Pardi sadar langkah kakinya semakin dekat dengan ujung jalan. Dan matanya menangkap cahaya kebajikan pada jalur yang ditempuhnya.
Ahad, 16 Januari 2022
Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai
Dokpri Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda ...
-
Dua perempuan cantik memperlihatkan kesan ramah menghiasi poster pengumuman jadwal pertemuan ke-6 Pelatihan Belajar Menulis Gelombang 23-2...
-
Musik pop lawas era 80-an tanpa syair menggenapkan gerimis yang menerpa lembut kota Bandung siang ini, Kamis, 14/07/2022. Suhu dingin yang m...
-
Bagai gemerincing gelang kaki penari dalam film Bollywood, suara notifikasi pesan WA dari smartphone membangunkan saya tadi siang menjelang ...
-
Ketika flyer pertemuan ke-10 tadi sore dishare dalam WAG BM 24, Upin dan Ipin tengah minta dibelikan mobil remote oleh opah, Film animasi...
-
Malam ini kesadaran utama saya terbelah menjadi tiga bagian penting. Pertama , saya harus menyelesaikan tugas diklat Perencanaan Berbaisis D...
-
Tidak seperti kemarin, sore tadi cuaca bersahabat. Dari atas gerak maju kuda besi tua yang terguncang-guncang pada permukaan aspal yang mu...
-
Waktu terus berlalu. Bumi masih tetap melakukan kerja rotasinya untuk membuat pergantian siang dan malam. Planet paling memungkinkan untuk b...
-
Waktu sekolah telah usai. Anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Pun para guru dan pegawai. Saya sendiri masih di sekolah, terpasung...
-
Semalam saya mengikuti pertemuan virtual Opening Ceremony Kelas Menulis Gelombang 23 dan 24 di bawah asuhan orang-orang yang tidak saya kena...
-
13/07/2022, Rombongan kepala sekolah yang terdiri dari TK/paud, SD, dan SMP Kabupaten Lombok Timur bergerak menuju Jakarta dan Bandung untuk...