Jumat, 25 Februari 2022

Penerbit Indie Sebagai Alternatif Penerbitan (Pertemuan ke-18 BM 23-24)


Adalah Raimundus Brian Prasetiawan, S.Pd, narasumber pelatihan belajar menulis PGRI pada pertemuan ke-18. Didampingi moderator, Brian diberikan mandat membersamai peserta pelatihan dengan materi "Menerbitkan Buku Semakin Mudah di Penerbit Indie"

Membaca profil narsum yang dibagikan moderator, dalam kebeliaannya narsum sudah malang melintang dalam dunia literasi sejak lama. Sejumlah tulisannya tersebar pada berbagai blog. Narsum juga telah berhasil menerbitkan buku solo dan antologi. Narsum juga telah memahat prestasi dalam sejumlah kompetisi tulis menulis. Pak Brian tidak saja menjadi nara sumber pada pelatihan menulis PGRI asuhan Om Jay. Guru dan penulis muda itu juga sering menjadi narasumber pada berbagai pelatihan, webinar, forum diskusi, dan kegiatan serupa.

Setelah membuka kegiatan, moderator memberikan kesempatan kepada narsum untuk menyampaikan materi. Narsum mulai menyampaikan materi pembuka dengan mengabarkan informasi positif bahwa peserta dapat membuat buku jika telah menyelesaikan resume ke-20. Informasi positif dan menggembirakan lainnya tentang fasilitas penerbitan buku.

Narsum menyampaikan peserta pelatihan belajar menulis angkatan awal cenderung kesulitan menerbitkan buku karena tidak ada keterlibatan penerbit sebagai narsum. Sekarang permasalahan penerbitan sudah dapat dianulir karena ada ada keterlibatan pihak penerbit indie dalam proses pelatihan. Penerbit memberikan pelayanan kepada penulis untuk menerbitkan buku tanpa proses yang berbelit-belit seperti prosedur yang berlaku pada penerbit mayor. Bagi penulis pemula, penerbit indie merupakan solusi yang tepat untuk menerbitkan buku.

Narsum menunjukkan ciri-ciri penerbit indie kepada peserta. Penerbit tidak melakukan seleksi terhadap naskah yang diterima. Proses penerbitan membutuhkan waktu lebih cepat (1-3 bulan) dengan biaya bervariasi. Jika ingin mencetak ulang penulis harus menanggung sendiri biaya cetak dan ongkos kirim. Pemasaran dilakukan sendiri dengan harga yang juga ditentukan sendiri oleh penulis. Buku tidak dipasarkan di toko buku.

Terkait dengan biaya penerbitan secara mandiri oleh penulis, narsum menyampaikan bahwa hal itu memang konsekuensi penerbitan tanpa seleksi. Artinya, ada harga yang harus dibayar penulis untuk mendapatkan fasilitas penerbitan dari sebuah penerbit indie.

Menurut narsum, penulis harus selektif dalam memilih penertbit. Dengan kata lain diperlukan pertimbangan dalam penggunaan jasa penerbit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan penerbit indie meliputi, "biaya penerbitan, fasilitas penerbitan, batas maksimal jumlah halaman, ketentuan dan biaya cetak ulang,  ada tidaknya master PDF, lama penerbitan, dan jumlah buku yang didapat penulis"

Sebagai bahan pertimbangan peserta dalam memilih penerbit, narsum merekomendasikan beberapa penerbit rekanannya; Penerbit Depok dan Penerbit Malang.

Dua penerbit yang direkomendasikan narsum memiliki perbedaan. Salah satu penerbit hanya mencetak buku sekali saja. Sedangkan penerbit lainnya memberikan kesempatan penulis untuk mencetak ulang bukunya. Peserta tinggal memilih cetak ulang atau cetak sekali

Jumat, 25 Februari 2022

Rabu, 23 Februari 2022

Penerbit Indie (Pertemuan ke-17)


Waktu terus berlalu. Bumi masih tetap melakukan kerja rotasinya untuk membuat pergantian siang dan malam. Planet paling memungkinkan untuk bertahan hidup bagi segala makhluk fisik ini juga masih konsisten berjalan pada orbitnya melakukan kerja revolusinya. Kerja rotasi dan revolusi itu membuat waktu terus beringsut dan mengantarkan peserta pelatihan belajar menulis asuhan Om Jay sampai pada titik ke-17.

Informasi tentang jadwal pertemuan dalam flyer sudah disebar di WAG sejak pukul 11.26 wita. Wajah Pak Mukminin sekarang lebih jelas. Sejauh ini saya hanya melihat beliau wara-wiri dalam bentuk pesan-pesan tertulis di WAG Belajar Menulis 24 dan beberapa WAG sejenis. Ya. Mukminin, S.,Pd., M.,Pd., narasumber pertemuan ke-17 dengan materi "Mengenal Penerbit Indie". hari Rabu, 23 Februari 2022, didampingi Bu Helwiyah seabagai moderator.

Pukul 18.55 moderator sudah menutup pintu pesan WAG untuk peserta agar kegiatan pelatihan berjalan kondusif. Sebagaimana ritual setiap pelatihan sebelumnya, moderator membuka pelatihan dengan "prosedur standar", mengucap salam, membaca doa, menyampaikan susunan acara, dan memperkenalkan narsum dengan materi pelatihan.

Sebagaimana narsum sebelumnya, narsum kali ini juga bukan narsum "kaleng-kalengan". Membaca curikulum vitae-nya setiap peserta akan memiliki persepsi dan pikiran yang sama bahwa Pak Mukminin jelas memiliki kelayakan tak diragukan untuk menjadi narsum pada belajar menulis ini. Sebagai alumni belajar menulis asuhan Om jay, Cak Inin menjadi salah satu alternatif narasumber yang dipandang mampu untuk memberikan pencerahan pikiran kepada peserta. https://cakinin.blogspot.com/2020/10/curiculum-vitae.html

Sebelum menyampaikan materi, Cak Inin berkisah tentang kronologis perjalanan pena-nya sampai menjadi penulis dan berhasil menerbitkan buku. Salah satu bukunya sudah terjual sampai 500 ekp.

Beliau bertutur bahwa karier menulis mulai dirintisnya pada usia 55 tahun (dua tahun yanga  lalu). Dalam anggapan kebanyakan orang usia tersebut bisa jadi dianggap terlambat. Akan tetapi, tidak bagi Cak Inin. Bagi saya ini sebuah pesan bahwa belajar menulis itu tidak mengenal usia. Belajar itu bukan persoalan umur tetapi terletak pada kemauan (niat), komitmen, dan keseriusan, ketulusan untuk melakukannya. Pesan ini tentu saja dapat menjadi pemantik peserta untuk belajar tanpa patah semangat dan putus asa. Perjalanan menjadi penulis dituangkan Cak Inin dalam blog-nya yang dapat dikunjungi melalui link https://cakinin.blogspot.com/2022/02/usia-56-tahun-aku-berkarya-dan.html.

Buku-buku berikut ini adalah sebagian dari buku karya narsum yang telah dihasilkan selama dua tahun terakhir.


Setelah merasa berhasil membakar motivasi peserta untuk terus menulis, Cak Inin menggoda peserta dengan sebuah pertanyaan sederhana.
"Apa alasan seseorang menulis buku sebutkan 4 saja"

Peserta yang menjawab paling logis akan diberikan hadiah. Pertanyaan dan kompensasi yang ditawarkan narsum tentu saja membuat peserta berebut menjawab pertanyaan tersebut. 

Setelah berhasil menggoda peserta Cak Inin mengajak peserta memasuki materi inti. Cak Inin menulis, 

"Pada zaman melinial ini semua org bisa menulis dan menerbitkan buku. Baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dosen, maupun wiraswasta. Menulis dan menerbitkan buku itu mudah, tidak serumit yg kita bayangkan. Apalagi sbg seorang guru pasti bisa menulis baik fiksi maupun karya ilmiah. Guru memiliki byk kisah dan pengalaman inspiratif tersebut perlu kita tulis dan terbitkan buku  menjadi yg bermanfaat bg orang lain/ pembaca. 

Uintuk bisa terlatih menulis memang butuh ketekunan dan perjuangan. Selain itu, perlu juga tekad dan motivasi tinggi agar tidak goyah saat menjalani proses menulis.

Berbicara motivasi, ada banyak kata-kata agar kamu terus semangat menulis. Melalui kata-kata mutiara tentang menulis bisa menjadi motivasi agar sukses dalam berkarya."

Pembuka materi yang ditulis Cak Inin di atas merupakan pintu masuk ke dalam kesadaran peserta bahwa perkembangan zaman (teknologi) memberikan peluang yang sangat luas bagi setiap orang untuk menghasilkan tulisan dan menerbitkannya. Dalam konteks pembelajaran, guru sebagai profesi yang secara langsung bersentuhan dengan proses pembelajaran memilki banyak kisah dan pengalaman inspiratif yang dapat dituangkan secara tertulis. Tulisan yang disusun dengan baik, menarik, dan sesuai standar penulisan dapat diterbitkan menjadi buku. Keberahsilan membuat tulisan tentu saja harus ditopang oleh ketekunan, motivasi, dan tekad yang kuat.

Kata-kata adalah pembakar semangat. Kata-kata adalah struktur logika yang dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk berbuat sesuatu. Cak Inin tidak lupa membumbui materinya denga kata-kata mutiara.

Pada materi inti, Cak Inin menyampaikan "Tahapan Cara Menulis dan Menerbitkan Buku yang Tepat". Menurutnya, tahapan awal menulis adalah prawriting. Tahapan ini merupakan proses mencari ide. Penulis dalam hal ini harus memiliki kepekaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang ditemukan di lingkungan sekitar. ( Pay attention). Ada keterlibatan unsur kreativitas dalam menangkap fenomena yg terjadi di sekitar untuk menjadi tulisan. Hal paling utama dari tahapan ini adalah banyak membaca buku.

tahapan berikutnya adalah drafting. Pada tahap ini penulis mulai membuat draf (outline buku/daftar isi buku). Berdasarkan draft tersebut penulis kemudian mengembangkan gagasannya sampai menjadi sebuah buku. 

Menurut Cak Inin, menulis memiliki kebebasan untuk menulis sesuai dengan pasion (hal yang disukai). Seseorang dapat membuat tulisan dalam bentuk artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya. Dalam membuat sebuah tulisan, seseorang harus mengerahkan daya kreatifnya dalam merangkai kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca. Ini berarti bahwa kemampuan imaginasi sangat dibutuhkan penulis dalam meramu tulisan agar menjadi sesuatu yang menarik. 

Kemampuan imaginasi adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang secara umum. https://bit.ly/3BGVhLb

Pengertian imaginasi di atas mengandaikan bahwa ada keterlibatan logika dalam setiap aktivitas mental. Imaginasi bukan semata tentang khayalan tetapi juga menyangkut kemampuan berfikir untuk menata kalimat sehingga menghasilkan tulisan yang membuat betah pembaca.

Tahap berikutnya adalah revisiSetelah naskah selesai ditulis tahapan yang tidak dapat diabaikan adalah revisi naskah. Dalam proses revisi penulis dapat mempertahankan unsur tulisan yang baik, membuang unsur yang tidak relevan, serta menambahkan unsur yang dinilai masih kurang. Proses ini, jika dikaitkan dengan materi sebelumnya, mirip dengan proses proofreading.

Jika revisi telah selesai, penulis dapat melanjutkan ke tahap editting/swasunting. Pada tahap ini, penulis melakukan penyuntingan yang meliputi perbaikan kesalahan tanda baca, kesalahan pada kalimat. Tahap ini disebut juga sebagai "swasunting" yaitu menyunting tulisan sendiri sebelum masuk penerbit. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan dalam penulisan. Dalam proses ini, dibutuhkan kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar seorang penulis yang sesuai denga EBBI.

Materi selanjutnya dari narsum adalah materi inti dari pelatihan, yaitu tentang penerbit. Dalam penjelasannya, Cak Inin membuat dikotomi penerbit menjadi penerbit mayor dan penerbit indie. Perbedaan ke dua penerbit tersebut dipetakan berdasarkan beberapa hal, yaitu, 

1) berdasarkan jumlah buku yang dicetak
Pada penerbit mayor buku yang dicetak berkisar antara 1000 sampai 3000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku. Sedangkan penerbit indie hanya mencetak berdasarkan pesanan yang didistribusikan melalui media online.

2) Pemilihan Naskah yang Diterbitkan
Pada penerbit mayor naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum diterbitkan apalagi penerbitannya dilakukan secara masal hingga 1000 - 3000 eksemplar. Penerbit harus  hati-hati dalam memilih naskah yang akan dicetak atau diterbitkan. Penerbit bagaimanapun juga memiliki target berupa keuntungan sehingga tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Dalam menerbitkan sebuah naskah penerbit memiliki persyaratan yang sangat ketat. Penerbit harus melakukan survey tentang selera pasardan kemungkinan tingkat penolakan.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie tidak terlalu mempersoalkan hal-hal di atas. Penerbit indie akan menerbitkan sebuah karya yang layak diterbitkan dengan catatan, tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, Hal ini menjadi alternatif baru bagi para penulis untuk membukukan tulisannya.

3) Profesionalitas
Pada penerbit mayor unsur profesional sangat diutamakan. Hal ini karena penerbit mayor memiliki dukungan kapital dan sumber daya pada perusahaan.

Penerbit indie juga sangat mengutamakan profesionalisme. Hanya saja ada semacam opini yang berkembang bahwa penerbit indie cenderung asal-asalan; asal cetak-jadi-jual. Beberapa penerbit indie memang cenderung kurang profesional. Penerbit menawarkan biaya murah tetapi kualitas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banyak penerbit indie juga kurang memperhatikan mutu dan manajemen pemasaran buku. Hal ini bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Hal-hal seperti cover kurang bagus, atau kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper (kertas coklat halus). Untuk itu penting bagi penulis untuk memilih penerbit indie yang memiliki managemen penerbitan yang baik.

4) Waktu Penerbitan
Pada penerbit mayor, umumnya sebuah naskah membutuhkan waktu 1-3 bulan untuk memberikan konfirmasi kepada penulis. Andaipun diterima penerbitan naskah harus mengalami anttrean panjang sehingga proses penerbitan bisa meunggu bertahun-tahun. Hal ini dapat dipahami karena penerbit mayor sebagai sebuah penerbit besar memiliki standar prosedur yang ketat, panjang, dan berbelit-belit. Pasca penerbitan juga memerlukan proses terutama pada tahap penjualan atau distribusi. Apabila dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie cenderung lebih cepat memproses naskah yang diterima, bahkan dalam hitungan minggu sudah dapat diterbitkan. Penerbit indie cenderung mengabaikan selera pasar. Perusahaan akan menerbitkan karya diyakini karya terbaik oleh penulisnya dan layak diterbitkan. Perusahaan tidak tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

5.  Royalti
Penerbit mayor, dalam hal royalti, kebanyakan mengambil royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku. Sedangkan pada penerbit indie royalti umumnya berkisar antara 15-20% dari harga buku.

6) Biaya penerbitan
Biaya penerbitan pada penerbit mayor biasanya gratis. Hal ini menyebabkan penerbit tidak dapat secara langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Penerbit memiliki banyak pertimbangan lain, salah satunya, selera pasar.  

Berbeda dengan penerbit indie, penulis harus memiliki kontribusi atau membayar kepada penerbit. Biaya penerbitan pada setiap penerbit indie tidak sama. Ini sangat tergantung pada pelayanan dan mutu buku yangg diterbitkan.

Perbedaan penerbit yang dipaparkan Cak Inin cukup jelas. Bagi penulis pemula, alternatif penerbit yang dapat dijadikan solusi adalah penerbit indie. Berbeda dengan penulis yang telah memiliki nama besar. Karya penulis pemula dan penulis profesional tentu saja akan ditempatkan pada posisi yang berbeda, baik oleh penerbit maupun masyarakat pembaca. 

Perbedaan di atas tentu saja tidak membuat penulis pemula atau penulis yang masih berada pada tahap belajar akan menganggapnya sebagai tantangan berat. Hal penting dari proses menulis sebagaimana disampaikan oleh semua narsum adalah kemauan, komitmen, keseriusan, dan optimisme untuk menghasilkan tulisan demi tulisan. Analoginya, seorang atlet parkour tidak mungkin tiba-tiba mampu melompat dari satu ketinggian ke ketinggian lainnya tanpa pernah mengalami proses latihan. Mereka pasti pernah gagal dan cidera. Menulispun demikian.

Rabu, 23 Februari 2022

Senin, 21 Februari 2022

Menyusun Buku secara Sistematis (Pertemuan ke-16 BM Gelombang 23-24)

 


Lagi-lagi kendala signal. Saya baru dapat mengaksese jaringan sekitar pukul 20.00 wita. Ada satu kebiasaan baru dalam diri saya. Sejak ikut belajar menulis saya mulai suka menghitung hari, Senin, Rabu, dan Jumat. Ini hari-hari "mulia" bagi saya dalam kegiatan belajar menulis.

Ini hari Senin, 21 Februari 2022, pelatihan belajar menulis telah sampai pada pertemuan ke-16. Pada kesempatan ini, Pak Muliadi, kembali ditugaskan memoderasi jalannya pelatihan. Mengawali pertemuan ke-16, moderator memperkenalkan narasumber. Yulius Roma Patandean, S.Pd, demikian nama sosok yang diberikan mandat berbagi ilmu menulis kepada peserta. Narsum seorang guru tetapi bukan guru biasa. Narsum yang mendedikasikan diri di SMAN 5 Tator disebut-sebut sebagai penulis yang cukup produktif sekaligus editor profesional. Pria kelahiran Salubarani, Tana Toraja, 6 Juli 1984 itu telah berhasil menerbitkan sejumlah besar buku di bawah penerbit bergengsi.

Narsum mulai menjalankan perannya setelah moderator mempersilakannya mengambilalih kegiatan. Sebuah paragraf dalam foto selfie narsum menjelaskan tentang perjalanan seharian ke sebuah sekolah pelosok di daerahnya. Perjalanan melelahkan itu tentu melelahkan tetapi rasa lelah itu luluh dalam semangat berbagi di ruang belajar menulisgelombang 23-24.


Saya harus mengakui bahwa saya dan peserta lainnya tidak salah masuk grup belajar menulis. Ternyata kelas ini telah banyak menghasilkan penulis profesional. Narsum malam ini juga salah seorang alumni belajar menulis asuhan Om Jay.

Tuan dan Nyonya yang membutuhkan profil lengkap narsum silakan siapkan sedikit kuota untuk berkunjung ke https://romadean.blogspot.com/2021/01/profil.html

Sesuai dengan topik "Langkah Menyusun Buku Secara Sistematis", narsum berharap besar dan yakin bahwa peserta telah memiliki bakat dan kemampuan sendiri dalam melakukan editing terhadap naskah tulisan untuk kemudian diusulkan kepada penerbit. 

Dalam menyelesaikan tulisannya, narsum menggunakan prinsip CLBK. Prinsip ini tentu terkesan aneh karena lebih dikenal sebagai singkatan dari Cinta Lama Bersemi Kembali, sebuah rasa yang tumbuh kembali ketika sepasang kekasih pernah terikat hubungan asmara di masa lalu. CLBK dalam gagasan narsum tentu saja bukan dalam konteks asmara tetapi dalam persepektif menulis. Istilah tersebut dijabarkan narsum dalam deskripsi sebagai berikut.

COBA-lah untuk menulis. Upaya mencoba menulis akan menumbuhkan rasa penasaran yang dapat menyulut rasa ingin tahu dan berbuat lebih dalam menulis. Saat ingin tahu itu tumbuh segera LAKUKAN. Menulislah. Ikuti setiap ide itu dalam bentuk tulisan. Selama ide itu mengalir jangan berhenti hingga ujung jalan. Dorongan untuk menulis itu penting tetapi menghapus rasa penasaran dalam pikiran itu jauh lebih penting. Rasa penasaran itu tentu saja tentang tulisan.

Jika rasa penasaran telah terjawab, fase selanjutnya adalah BUDAYAKAN. Jadikan menulis sebagai bagian dari keseharian, sebagai sebuah kebiasaan. Jadikan menulis sebagai sebuah budaya, sebuah kebiasaan koletif dalam sebuah komunitas. 

Jika budaya diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian maka budaya menulis dapat diartikan sebagai kebiasaan menulis yang dilakukan sekelompok orang. Paling tidak dalam komunitas belajar yang diasuh Om Jay telah memperlihatkan nuansa ke arah budaya menulis. Jika budaya menulis telah terbangun, hal penting lainnya adalah KONSISTEN. Menanamkan sikap konsisten merupakan upaya terberat dalam kehidupan pribadi maupun kelompok, Konsistensi sering mengalami kerapuhan dalam sebuah bangunan budaya paling mapan sekalipun. Konsistensi yang sering menimbulkan kerapuhan biasanya diawali dari inkonsistensi individual yang dapat menjalari sebuah sistem budaya yang telah terbentuk.

Dari materi tentang prinsip menulis, narsum kemudian mengajak peserta untuk memasuki materi yang menyangkut teknis penulisan yang mencakup cara memasukkan daftar isi, kutipan, indeks, dan daftar pustaka secara otomatis. Dengan kemajuan teknologi digital peserta dapat mengakses materi melalui link https://youtu.be/eePQwyHAcjw dan https://youtu.be/jXPr59aWJSc.

Bagian akhir dari pertemuan adalah tanya jawab. Pertanyaan itu secara garis besar menyangkut hal-hal prinsip dan cara pandang terhadap dunia menulis seperti, konsistensi, motivasi, membangun minat, dan prinsip-prinsip semacamnya. Pertanyaan lainnya menyangkut tentang hal-hal teknis yang berhubungan dengan langkah sistematis dalam menulis, trik memilih judul atau subjudul, dan hal-hal lain yang bersifat sejenis.

Senin, 21 Februari 2022



Jumat, 18 Februari 2022

Buku Nonfiksi (Pertemuan ke-15)

 



Pak Dail Ma'ruf, sebagai moderator, telah membuka kegiatan pelatihan melalui pesan suara pada pertemuan ke-15 saat saya mulai bergabung. Masih melalui pesan suara, moderator mempermaklumkan kepada peserta bahwa kegiatan dibagi menjadi 2 sesi, penyampaian materi dan tanya jawab.

CV narsum merupakan bagian penting dari pelatihan agar peserta lebih mengenalnya. Musiin, M.Pd adalah nara sumber pada pertemuan ke-15 ini. Beliau didapuk untuk menyampaikan materi dengan topik "Konsep Buku NonFiksi". Berdasarkan CV-nya, narsum tidak saja seorang guru tetapi juga pegiat sosial, ekonomi, literasi, dan wirausahawati. Beliau mewakafkan banyak hal untuk kemaslahatan bersama. Hal ini bagi saya merupakan sesuatu yang luar biasa,

Rupanya Bu Iin juga alumni kelas menulis asuhan Om Jay. Beberapa bukunya sudah terpajang di toko-toko buku. Narsum mengakui bahwa sebelum mengikuti kelas menulis ini, ada semacam phobia menulis yang selalu mengungkung potensinya. Berkat narsum yang luar biasa dan peserta yang saling memberikan semangat akhir Bu Iin bersama peserta lain angkatan 8 belajar berhasil menerbitkan buku.

Berdasarkan pengalaman pribadinya Bu Iin menjelaskan bahwa dalam menulis itu ada ketakutan; takut tidak ada pembaca, takut menuangkan pendapat atau ide dalam tulisan, dan takut karyanya tidak berkualitas jika disandingkan dengan karya orang lain. Ketakutan-ketakutan itu melahirkan sikap konyol dengan hanya duduk termangu di depan laptop tanpa menghasilkan tulisan.

Perubahan sikap itu dimulai ketika narsum masuk kelas menulis Om Jay dengan sejumlah nara sumber yang luar biasa. Ketakutan yang selama ini membuat penanya tidak berjalan berubah menjadi sebuah energi yang penuh keberanian untuk menuangkan setiap idenya secara tertulis.

Narsum sempat mengajak peserta untuk memahami sekilas sebuah buku karya Dan Poynter, judulnya Is There A Book Inside You. Bu Iin mengutip,

"Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan di dalam dirinya. Berapa ratus purnama telah kita lalui, berapa banyak kejadian entah itu pahit atau manis  mengukir perjalanan  hidup kita. Jadi,  semua tergantung pada individu masing-masing apakah mau dikeluarkan dalam bentuk buku atau tidak. 
Atau hanya dikeluarkan dalam bentuk pengajaran di kelas-kelas saja atau hanya dalam bentuk obrolan atau cerita kepada anak cucu saja, yang tidak meninggalkan jejak keabadian."

Tanpa bermaksud mengerdilkan semangat peserta, Bu Iin menyampaikan bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dianggap paling sulit. Diperlukan komitmen berlatih untuk sampai pada perspektif bahwa menulis itu indah. Diperlukan keseriusan dan kontunuitas belajar dari waktu ke waktu untuk sampai pada mental CINTA MENULIS.

Harus ada alasan yang kuat dan benar-benar menjadi motivasi seseorang untuk menulis. Narsum sendiri memilih menulis dengan alasan ingin mewariskan ilmu lewat buku, sekaligus ingin punya buku karya sendiri yang bisa terpajang di toko buku online maupun offline, dan mengembangkan profesi sebagai guru.

Kembali narsum mengutip pernyataan penulis terkenal Pramudya Ananta Toer.

Narsum menjelaskan bahwa kekuatan seseorang salah satunya terletak pada komunikasinya. Saya teringat pada Bung Karno yang konon mampu menyedot perhatian massa dengan gaya komunikasinya di atas panggung. Saya juga terkenang dengan Zainunddin MZ, Kiai Sejuta Umat, yang selalu memukau audiens melalui gaya ceramahnya yang lantang dan selipan humor.

Narsum menegaskan bahwa menulis merupakan salah satu pilihan bagi seseorang yang ingin meninggalkan jejak kehidupan. Seseorang bisa saja dikenang karena keturunannya tetapi dikenang karena menghasilkan karya jauh lebih bermartabat.

Modal kuat seorang penulis, menurut narsum, adalah keinginan kuat. Makin kuat keinginan untuk meraih sesuatu makin besar kemungkinan tangan mampu meraih keinginan tersebut. Akan tetapi tentu saja keinginan tersebut harus didukung dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Narsum kemudian membawa peserta masuk ke materi utama, buku nonfiksi. Ada 3 pola penulisan buku nonfiksi yakni, 
1) Pola Hierarkis (Buku disusun berdasarkan tahapan dari mudah ke sulit atau dari sederhana ke rumit), contohnya, buku pelajaran
2) Pola Prosedural yaitu Buku disusun berdasarkan urutan proses, contohnya, buku panduan.
3) Pola Klaster (Buku disusun secara poin per poin atau butir per butir. Pola ini diterapkan  pada buku-buku kumpulan tulisan atau kumpulan bab yang dalam hal ini antarbab setara)

Salah satu buku karya Bu Iin adalah "Literasi Digital Nusantara". Penulisan buku ini menggunakan pola ketiga atau pola klaster. Proses penulisan buku ini terdiri dari 5 langkah, yakni, pratulis, menulis draf, merevisi draf, menyunting naskah, dan menerbitkan. 

Tema besar buku ini adalah pendidikan. Sumber idenya "...berasal dari berita di media massa,  mengamati lingkungan serta diperkuat dari materi di Prof EKOJI Channel dengan judul Digital Mindset (The Key to Transform Your Organization) yang tayang pada tanggal 20 Maret 2020". Narsum mengaku bahwa referensi buku "Literasi Digital Nusantara" berasal dari data dan fakta yang diperolehnya dari literasi di internet.

Tahap selanjutnya adalah membuat kerangka. Kerangka itu kemudian dikembangkan menjadi tulisan utuh atau berdasarkan kerangka itulah proses penulisan dilanjutkan. Sebagai panduan Bu Iin mengikuti nasihat dari Pak Yulius Roma Patandean, salah seorang alumni belajar menulis. Panduan itu dapat dibuka pada link https://www.youtube.com/watch?v=eePQwyHAcjw&feature=youtu.be

Satu demi satu tahapan menulis itu dijelaskan narsum dengan runtut. Walupun demikian dalam proses penulisan itu tentu saja ada aral. Hal-hal yang menghambat narsum dalam penulisan buku tersebut menyangkut hambatan waktu, hambatan kreativitas, hambatan teknis, hambatan tujuan, dan hambatan psikologis.

Hambatan-hambatan tersebut diatasi dengan banyak membaca, mencari inspirasi di lingkungan sekitar, orang sekitar atau terkait dengan nara sumber, disiplin menulis setiap hari, atau pergi ke pasar dan memasak (untuk ibu-ibu).

Rabu, 16 Februari 2022

Menulis Buku Perpusnas (Pertemuan ke-14)

 


Tidak seperti kemarin, sore tadi cuaca bersahabat. Dari atas gerak maju kuda besi tua yang terguncang-guncang pada permukaan aspal yang mulai koyak, bersama si kecil Bungsu, saya menikmati hamparan hijau persawahan dalam sapuan lembut tiupan angin. Tipis awan putih terserak memahat angkasa raya. Segala rasa tentang keagungan sang Khaliq terbang melesat di bawah lengkung langit yang cerah. Secerah senyum Nara sumber, Dr. Mudafiatun Isriyah, dan Moderatur, Widya Setyaningsih yang terpampang pada flyer informasi pertemuan ke-14 malam ini. Ada kesan optimisme menjulang pada senyum itu.

Cerah masih bertahan hingga malam. Sebagaimana ritual pertemuan sebelumnya, moderatur, setelah mengunci WAG agar peserta fokus pada proses pelatihan, Moderator membuka kegiatan dengan memberikan informasi tentang susunan acara dan profil narsum. 

Adalah Ibu Dr. Mudafiatun Isriyah, seorang dosen dan penulis terbaik Perpusnas. Membaca CV-nya diperlukan kekuatan kognisi untuk mengingat bentang panjang perjalanan karier dan prestasi narsum. CV-nya sudah menimbun keraguan peserta jauh ke dalam bumi paling inti tentang kepakarannya dalam dunia literasi.

Setelah moderator memberikan kesempatan untuk menyampaikan materi, narsum menawarkan judul "Menulis itu Indah" pada pelatihan ke-14. Saya menduga narsum mencoba menjinakkan peserta dengan judul itu. Barangkali beliau berasumsi bahwa judul "Menulis Buku Terbaik Perpusnas" memuat beban psikologis pada peserta. Adanya diksi Purpusnas dapat membuat gagap karena ada semacam tantangan berat untuk menghasilkan tulisan yang dapat ditampung lembaga literasi paling bergengsi di negeri ini. Dengan judul "Menulis itu Indah" bisa jadi beliau ingin meringankan beban psikologis itu. Sekali lagi ini hanya dugaan saya.

Narsum memulai masuk ke materi dengan kalimat,
"menulis merupakan salah satu kegiatan berbahasa, tetapi tidak
semua orang terampil berbahasa dapat menulis dengan baik. Menulis
memang tidak mudah, tetapi jangan Anda bayangkan bahwa menulis adalah
kegiatan yang sangat sulit dan jangan pula Anda pernah berpendapat bahwa
menulis sangat erat kaitannya dengan bakat."

Saat belajar bahasa waktu kuliah dulu saya juga mendapati pengertian yang sama dengan konsep yang disampaikan narsum. Menulis merupakan salah satu dari 4 (empat) kegiatan berbahasa setelah mendengar, berbicara, dan membaca. Dalam batasan tertentu menulis memiliki kesejajaran dengan berbicara. Keduanya sama-sama menyampaikan informasi. 

Hanya saja kegiatan menulis dianggap sebagai kegiatan yang lebih berat dan lebih sulit tinimbang berbicara. Semua orang bisa menuangkan ide secara lisan tetapi tidak semua orang mampu menyampaikan infromasi secara tertulis dengan baik. Di samping itu, perbedaan keduanya terletak pada perbedaan fase pemelorehan. Jika berbicara mulai dilatih sejak seseorang dilahirkan, menulis mulai dialami seseorang biasanya ketika memasuki bangku sekolah.

Guru sebagai agen paling utama dalam pembelajaran, menurut narsum, mau tidak mau secara nsicaya harus memiliki kemampuan menulis. Tulisan itu paling tidak sebuah karangan pendek. Lagi-lagi saya harus mengamini narsum. Menulis sebagai keterampilan yang harus dikembangkan sejak dini, Seyogyanya keterampilan menulis harus dikuasai guru sebagai keterampilan yang harus diajarkan kepada siswa. Bagaimana mungkin pembelajaran menulis dapat berlangsung jikalau guru tidak memiliki kompetensi berbahasa itu?

Rupanya narsum benar-benar hendak menguji kesesriusan peserta dalam belajar menulis. Beliau memberikan tantangan menulis dengan menjawab pertanyaan tentang konsep menulis dan beberapa aspek yang berhubungan dengannya. 

Pertanyaan itu adalah, 1) menjelaskan pengertian menulis; 2) menguraikan manfaat menulis; 3) mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keengganan seseorang dalam menulis; 4) menerangkan mitos-mitos dalam menulis, 5) menemukan hubungan menulis dengan berbagai aspek keterampilan berbahasa lainnya; 6) menjelaskan pengertian menulis sebagai proses; serta 7) menjabarkan setiap fase dalam proses menulis.

Untuk pertanyaan ke-1, dalam pemahaman saya menulis merupakan upaya menyampaikan informasi kepada orang lain dengan menggunakan lambang bahasa. Kegiatan menulis dapat juga diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide atau gagasan secara tertulis. Ide atau gagasan itu bisa berupa pikiran, perasaaan, atau pengalaman hidup sehari-hari.

Lalu apa manfaat menulis? (pertanyaan ke-2). Untuk menjawab pertanyaan ini jawaban setiap orang akan sangat beragam. Jika Tuan dan Nyonya melakukan googling, akan ditemukan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan, 6, manfaat, 7 manfaat, 10, manfaat, bahkan 11  manfaat. Akan tetapi kesluruhan jawaban itu dapat dipadatkan dalam beberapa manfaat sebagai berikut.

Pertama. Meningkatkan Kreativitas dan kemampuan imaginer. Menulis akan membuat seseorang melakukan petualangan intelektual dan perasaan untuk mengolah kemampuan berfikir yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Tidaklah salah jika dalam ilmu linguistik, kegiatan berbahasa disejajarkan dengan kegiatan berfikir.

Pertanyaan ke-3, tentang faktor keengganan seseorang untuk menulis. Rasa malas merupakan faktor utama. Jika seseorang sudah dibelit kemalasan, jangankan menulis beringsut dari tempat duduk saja sulit. Faktor lainnya tidak memiliki ide tetapi hambatan ini cenderung salah karena ide menulis itu ada di mana-mana. Ada juga yang beralasan tidak punya waktu. Penulis-penulis besar, seperti Buya Hamka atau Mochtar Kusumaatmadja merupakan orang-orang yang sangat sibuk dibanding peserta di ruang BM 24. Akan tetapi mereka memiliki waktu senggang untuk menuangkan ide, pikiran, dan perasaan mereka secara tertulis. Hambatan lainnya adalah tidak menguasai topik. Ini sesungguhnya berawal dari kemalasan pikiran untuk membaca fenomena lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya sehingga mengalami kebingungan untuk menulis harus bermula dari titik yang mana.

Ada mitos dalam menulis (pertanyaan ke-4). Mitos paling banyak berkembang adalah bakat. Seseorang dianggap dapat menulis karena memang sudah menjadi bakat sejak kecil. Padahal setiap orang memiliki potensi yang sama. 

Mitos lainya, penulis harus menunggu inspirasi untuk bisa menulis dengan baik. Dia harus menyepi atau menunggu ilham. Padahal menurut, Narsum sebelumnya, segala sesuatu dapat dijadikan obyek tulisan. Menulis sebagai sesuatu yang berat juga termasuk mitos. Inilah beberapa mitos yang dapat saya uraikan.

Pertanyaan ke-5. Hubungan menulis dengan berbagai aspek keterampilan berbahasa lainnya. Menulis dan membaca memang dua keterampilan yang berada pada ranah yang berbeda. Menulis meurpakan kegiatan menyampaikan infromasi sedangkan membaca merupakan kegiatan menerima informasi. Akan tetapi, kedua ketrampilan itu jelas memiliki hubungan tak terpisahkan. Seseorang dapat menguasai keterampilan menulis apabila memiliki kemampuan membaca. Membaca adalah upaya memahami lambang bahasa yang tertera dalam tulisan. Oleh karena itu diperlukan keterampilan menangkap makna lambang itu untuk dituangkan lagi dalam bentuk lambang atau dalam bentuk tulisan.

Hubungan menulis dengan berbicara juga sangat jelas. Dengan mengabaikan faktor kelainan berupa tuna wicara, kemampuan menulis juga berhubungan erat dengan berbicara. Ketika berhadapan dengan pembaca malas, penulis harus mengkomunikasikan isi tulisannya secara lisan.

Hubungan menulis dan mendengar juga tidak terpisahkan. Seorang penulis harus memiliki kemampuan mendengar (baca: memahami) informasi dari nara sumber sebagai informan tertentu. Penulis harus melakukan wawancara dan dialog untuk mendapatkan informasi dengan orang lain sebelum infromasi itu dituangkan dalam tulisan. Disinilah hubungan menulis dan mendengar menjadi dua kegiatan yang berkaitan.

Pertanyaan ke-6, menjelaskan pengertian menulis sebagai proses. Pada paragraf sebelumnya dalam tulisan ini, keterampilan menulis seringkali disejajarkan dengan kemampuan berfikir. Ketika seseorang menuangkan ide secara tertulis, keterlibatan paling mendasar adalah pikiran atau proses berfikir. Sebuah tulisan tidak saja bersumber dari pengamatan atau pengalaman sehari-hari tetapi juga merupakan hasil dari proses permenungan, proses kontemplasi yang melibatkan proses berfikir dalam mengorganisir hasil pengalaman itu.

Pertanyaan ke-7, menjabarkan setiap fase dalam proses menulis. Fase awal dalam menulis adalah prapenulisn. Pada fasei ini, penulis mulai dengan menentukan ide atau gagasan besarnya. Misalnya, tentang Covid-19. Seorang penulis yang berlatarbelakang pendidik tentu akan membawa ide covid-19 itu ke dalam sebuah topik yang berhubungan dengan pembelajaran. Selanjutnya penulis melakukan penentuan sasaran pembaca. Lalu diikuti dengan pengumpulan informasi yang akan dijadikan sumber tulisan. Penulis kemudian mengorganisasikan infromasi tersebut. Dapat juga melakukan design atau membuat rancangan atau kerangka tulisan.

Fase penulisan adalah fase berikutnya. Pada fase ini penulis menentukan seberapa luas dan dalam cakupan tulisan yang akan dibuat. Penulis melakukan pengembangan ide berdasarkan infromasi yang telah berhasil dikumpulkan pada tahap prapenulisan. Di sinilah proses berfikir itu berkerja dengan maksimal.

Fase pascapenulisan. Jika tulisan telah selesai penulis memasuki fase terakhir yaitu pascapenulisan. Pada langkah ini, penulis melakukan penyempurnaan tulisan yang terkait dengan ejaan, tanda baca, dan perbaikan salah ketik. Pada tahap ini penulis melakukan penyuntingan dan proofreading sebagaimana telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya.

Rabu, 26 Februari 2021

Referensi : 12

Selasa, 15 Februari 2022

Proofreading sebelum menerbitkan Tulisan; Pertemuan ke-13 BM gelombang 23-24


Jaringan bermasalah saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.05 WITA. Saya mulai gelisah karena khawatir tidak akan dapat mengikuti pertemuan ke-13 Pelatihan Belajar Menulis PGRI angkatan 23-24, 14 Februari 2022. Kegelisahan itu berubah menjadi semacam kepanikan karena lambang signal di sisi atas kanan desktop saya itu masih saja berbentuk bola bukan parabola, sebagaimana bentuk signal yang terhubung akses jaringan.

Alhamdulillah kepanikan itu tidak berlangsung lama karena setelah beberapa kali mencoba akhirnya  suasana jaringan sangat kondusif. Hal ini memungkinkan kinerja komputer yang membutuhkan akses jaringan dapat berfungsi dengan baik.

Sejak sore saya dan peserta sudah memiliki informasi awal tentang pemateri dan moderator pertemuan, Susanto, S.Pd dan Muliadi.

Malam ini Pak Muliadi, sebagai moderator, mulai percakapan pembuka dengan memperkenalkan diri. Beliau guru kelahiran Tolitoli  dan bekerja pada sebuah sekolah kejururan, SMK Negeri 1 Tolitoli. Saat mulai berbicara, saya membayangkan suara moderator terdengar datar. Seluruh isi ruangan diam, bibir mengatup, mata-mata menatap tajam, dan pasangan-pasangan telinga bagai tangan dibalut sarung tangan baseball yang siap menangkap bola.

Untuk mengenal informasi awal tentang materi pokok pertemuan ke-13, Moderator mengutip pernyataan si Jenius Einstein, 

"Jika kamu tidak dapat menjelaskan sesuatu dengan sederhana, kamu tidak cukup memahaminya"

Moderator mencoba membangun pemahaman peserta melalui hubungan ungkapan fisikawan di atas dengan kegiatan menulis. Tulisan harus memiliki struktur kalimat sederhana yang memungkinkan penikmatnya dapat memahami pesannya secara efektif. Hal sederhana lainnya juga mencakup human error seperti salah ketik, sehingga huruf tertukar atau tertinggal, salah titik, koma, atau tanda baca lainnya. Ini tampak sederhana tetapi berdampak besar kepada pembaca apalagi tulisan tersebut akan dipublikasi kepada khalayak. Dalam konteks ini, untuk menjawab persoalan sederhana itu tema yang dipilih pada pertemuan ke-13 adalah 'Proofreading sebelum menerbitkan Tulisan'.

Setelah merasa cukup dengan kata-kata pembuka, Pak Muliadi kemudian memperkenalkan Narasumber. Susanto, S.Pd. Menurut moderator, narasumber dikenal dengan sapaan Pak D Susanto. Dalam dunia tulis menulis, beliau lebih di kenal dengan nama pak D. Nama yang singkat. Pak D tidak hanya menulis beliau juga dikenal sebagai editor dan kreator konten. Beliau sehari-hari mengabdikan diri sebagai guru sekolah dasar di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatra Selatan. Ternyata moderator dan narsum juga alumni BM PGRI. Berarti keduanya pernah menjalani tugas membuat resume pelatihan seperti peserta malam ini. Hanya keduanya berbeda angkatan. Agar lebih jelas Moderator membagikan lembar CV narsum kepada peserta.


Tetiba saja suara moderator terdengar seolah menggelegar ketika mengucapkan, "Mari kita sambut dengan meriah ...narasumber hebat kita malam ini .....Bapak D Susanto" 👏👏👏

Gelegar suara moderator dan tepuk tangannya dijawab gempita oleh peserta pelatihan dengan tepuk tangan dan sorak sorai yang mengalahkan semangat pentas dangdutan.

Narsumpun mulai menjalankan perannya. Sebagai pemantik, narsum mengutip sebuah kalimat yang terdapat dalam salah satu resume milik peserta dan mendiskusikan letak kekeliruan dalam penulisannya. Berebut peserta mengajukan perbaikan. Untuk menghemat waktu narsum memilih beberapa saja.

Dari sinilah narsum kemudian mengajak peserta masuk ke materi pelatihan utama. Upaya perbaikan tanda baca itu merupakan salah satu bentuk proofreading atau uji-baca. Istilah ini menyaran kepada pengertian sebagai upaya membaca ulang sebuah tulisan yang bertujuan untuk menganalisis kesalahan dalam teks tersebut. Narsum menegaskan,

"...dengan melakukan proofreading, kesalahan yang dimaksud di sini termasuk kesalahan penggunaan tanda baca, ejaan, konsistensi dalam penggunaan nama atau istilah, hingga pemenggalan kata dapat diminimalkan.


Jika ada yang menghubungkannya dengan pengertian editing, keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Editing lebih fokus pada aspek kebahasaan, sedangkan proofreading selain aspek kebahasaan, juga harus memperhatikan isi atau substansi dari sebuah tulisan. 

Tugas seorang proofreader bukan hanya membetulkan ejaan atau tanda baca. Seorang proofreader juga harus bisa memastikan bahwa tulisan yang sedang ia uji-baca bisa diterima logika dan dipahami. Secara sederhana tugas seorang proofreader adalah mengubah sebuah teks atau tulisan agar dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca atau orang banyak. Satu hal yang patut dicatat adalah seorang proofreader harus mampu mempertahankan substansi tulisan secara utuh.

Proofreading sebagai kegiatan uji-baca merupakan tahapan menulis yang tidak dapat diabaikan. Apalagi tulisan tersebut akan diproduksi dan dipublikasikan. Proofreading sebaiknya dilakukan ketika tulisan sudah selesai. Hal yang sering terjadi adalah banyak para penulis pemula seringkali melakukan uji-baca ketika tulisan baru setengah jadi. Hal ini menyebabkan tulisan tidak kunjung selesai. Pak D menganalogikan proofreading seperti ini bagai proses finishing pada sebuah bangunan yang dindingnya belum selesai atau jendelanya belum dipasang lalu melakukan pengecatan. Artinya proofreading itu semacam finishing sebuah rumah sebagai upaya mempercantik bangunan tersebut.

Hal lain yang tidak kalah sering pada penulis blog, banyak penulis yang tergesa-gesa karena ingin menjadi the number one. Ketika selesai menulis langsung menekan menu "publish" tanpa melakukan uji-baca tehadap tulisannya. Akibatnya, banyak kesalahan pada tanda baca dan ejaan yang diabaikan. Muaranya tullisan menjadi tidak enak untuk dinikmasti. Oleh karena itu, proofreading penting untuk dilakukan dalam rangka meminimalisasi kesalahan sebelum dipublikasikan.

Seorang proofreader biasanya dilakukan oleh penulis sehingga lebih cenderung obyektif. Oleh karena itu penulis, secara niscaya, harus menjadi pembaca pada saat yang sama. Pertanyaannya, kapan proofreading dilakukan agar obyektif? Tulisan diendapkan dulu beberapa waktu (hari). Setelah itu penulis mengubah wajah dan posisinya sebagai pembaca.

Langkah yang dapat dilakukan dalam proses uji-baca mencakup merevisi draf awal teks, merevisi aspek kebahasaan, mempercantik kalimat untuk memastikan tata bahasa yang benar, sintaks yang jelas, dan konsistensi gaya atau menata kalimta-kalimat yang ambigu. 

Sebagai langkah akhir dari semua proses itu adalah memeriksa ejaan (merujuk ke KBBI) walau ada beberapa kata yang mencerminkan gaya penerbit, pemenggalan kata-kata yang merujuk ke KBBI, konsistensi nama dan ketentuannya, serta judul bab dan penomorannya.

Sampai pada titik ini, narsum mengakhir penjelasannya dan mempersilakan moderator untuk memasuki sesi selanjutnya. Sesi itu adalah tanya jawab. Pada sesi ini pertantyaan peserta cukup banyak yang terkait dengan proofreader. Secara garis besar pertanyaan itu mencakup, ejaan dan tanda baca, dan cara melakukan proofreading.

Senin, 14 Februari 2022

Minggu, 13 Februari 2022

Terima Kasih Om Jay


Belajar menulis saja dapat hadiah

"Halo! Ini adalah kurir Anda dari Ninja Xpress! Saya akan segera mengirimkan paket Anda NVIDPANDI000000186. Siapkan uang tunai sejumlah Rp 0,-. Terima kasih." Demikian pesan masuk via WA ke smartphone saya hari ini. Pesan itu kemudian disusul panggilan masuk yang mengabarkan tentang hal yang sama. Saya sempat bingung dengan kiriman barang yang ditujukan kepada saya karena sebelumnya sayang tidak pernah membeli barang.

Akan tetapi ingatan saya segera pulih saat kesadaran saya dibawa kepada tantangan Pak Wijaya Kusuma atau Om Jay untuk membuat tulisan di blog tentang acara Nguping (Ngobrol Urusan Penting). Nguping merupakan acara diskusi yang membahas tentang isu pendidikan yang tengah berkembang. Saat itu Nguping merupakan pertemuan ke 2 yang diselenggarakan dengan moda daring.

Saya merasa harus menjawab tantangan Om Jay sebatas kemampuan saya. Saya tidak sempat mengikuti acara Nguping tersebut karena perbedaan waktu. NGUPING-nya di daerah WIB dan saya di daerah WITA. Untung kegiatan itu ditautkan dengan chanel Youtube PANDI Indonesia. Dari chanel inilah saya menonton acara NGUPING-2 secara asinkronus.

Saya tidak dapat mencatat materi NGUPING secara utuh. Sambil menonton acaranya saya menuliskan catatan kecil tentang materi acara tersebut. Hasil catatan itu kemudian saya tuangkan dalam tulisan dalam blog saya. Tidak banyak yang bisa saya tuliskan. Hanya 8 (delapan) paragraf dengan susunan beberapa kalimat/paragraf.

Link tulisan itu kemudian saya kirimkan kepada Om Jay. Hal yang luar biasa adalah respon cepat beliau yang meminta alamat saya untuk megirimkan surprize atas tulisan sederhana.

Sikap Om Jay itu membawa saya kepada sebuah perenungan bahwa pejuang literasi itu tidak sekadar menyuruh orang membaca dan menulis. Mereka, para pejuang literasi, sekaligus menjadi teladan literasi. Pejuang literasi adalah pembaca sejati tanpa memilih bacaan. Pejuang literasi adalah orang hebat yang senantiasa memberikan motivasi dengan bersedia meluangkan waktu membaca tulisan orang lain. Pejuang literasi tidak memandang siapa penulis sebuah teks, bahkan tulisan yang dihasilkan penulis remeh seperti saya. Pak Dail Ma'ruf, dalam tatap maya pembukaan Pelatihan Belajar Menulis Gelombang ke-24 pernah bilang bahwa beliau sangat beruntung diberikan tanggung jawab sebagai kurator karena mendapatkan kesempatan membaca tulisan peserta dengan karakter yang bermacam-macam.

Ahad, 13 Februari 2022, surprize yang dikirim Om Jay tiba, Dua buku yang sangat bermanfaat. Buku pertama merupakan kisah inspiratif guru dari berbagai daerah yang terangkum dalam sebuah judul "Persembahan Cinta untuk Guru, Antologi, Pengabdian dan Jasa Guru". Buku ke dua tentang teknologi informasi, sebuah buku yang membahas tentang pengelolaan domain internet.

Satu hal yang hendak saya sampaikan bahwa, menjadi penulis yang masih belajar saja sudah mendapatkan kompensasi. Apalagi menjadi penulis professional. Hanya menulis beberapa paragraph saja sudah diberikan hadiah.

Terima Kasih Om Jay

Lombok Timur, 13 Februari 2021

Majalah Sekolah (pertemuan ke-12)


Dua hari saya dipaksa menguras energi untuk berjuang melawan rasa sakit di kepala. Rasanya bagai dipukuli godam bertubi-tubi tanpa jeda sejenakpun. Sejak malam pertemuan ke-11 BM saya sudah mulai merasakannya. Saya berasumsi saja bahwa hanya efek belum ngopi. 

Ternyata asumsi saya keliru. Pagi Kamis saya masih bisa masuk sekolah dengan sakit kepala ringan, tenggorokan gatal, dan batuk-batuk. Sekitar jam 09.00 tim vaksin dari PKM setempat datang untuk menyisir anak-anak yang belum divaksin. Termasuk vaksin booster, ke-3 untuk guru. Vaksinasi berjalan lancar karena anak-anak yang belum divaksin dan guru bersikap kooperatif.

Beberapa jam kemudian setelah vaksin sakit kepala saya makin kuat. Saya tidak ingin membuat asumsi keliru lagi bahwa ini disebabkan vaksin. Saya buang jauh-jauh pikiran itu karena sebelum divaksin saya sudah sakit. Saya berusaha melawan dan mencoba bertahan dari rasa sakit. Sampai jam pulang sekolah sakit kepala makin menguat. Saya pulang bersama dengan bubarnya sekolah. Dalam perjalanan ke rumah saya sempat mampir di toko obat membeli peredam sakit kepala. Setiba di rumah, saya minum obat, shalat, lalu tidur dengan harapan sakit kepala itu berlalu. Karena ngantuk yang sudah di luar batas toleransi, saya terlelap.

Saya terjaga sekitar pukul 15.00 karena sakit kepala bukannya turun malah makin menjadi. Rasa sakit itu terus menerus berlangsung sampai dua malam. Saat Pertemuan ke 12, Jum'at, 11 Pebruari 2022, Saya masih berjuang melawan sakit kepala yang tidak biasa itu.

Dalam kondisi paling tidak nyaman itu saya masih diberikan kekuatan menengok pelatihan BM ke-12. Pertemuan dengan materi "majalah sekolah" itu dimoderasi oleh Bu Maesaroh dan narasumber Ustazdah Widya Setyaningsih, S.Ag. Saya membaca informasnya sambil memicing-micingkan mata yang tidak kuat terbuka penuh akibat sakit kepala yang terus mendera.

Malam ini "perih" di kepala saya telah berlalu. Usai shalat isya' saya mencoba mengumpulkan kepingan pertemuan ke-12 yang terserak di WAG Belajar Menulis 24. Satu demi satu saya susun menjadi sebuah bangunan utuh walaupun masih perlu perbaikan. 

Inilah kepingan pertama yang dapat saya temukan.


Kepingan itu ternyata hanya judul. Saya menemukan kepingan lain yang memberikan penjelasan secara utuh tentang konsep majalah secara umum dan, secara khusus, majalah sekolah.

Narsum tidak sekadar bicara teori tetapi memberikan gambaran dengan wujud sebenarnya dari majalah sekolah. Bu Widya memiliki pengalaman luar biasa dalam membangun majalah di sekolahnya sendiri sehingga mencapai prestasi yang juga luar biasa. 

Untuk menyulut motivasi peserta narsum menceritakan kronologis Majalah Kharisma, sebuah majalah sekolah yang dipimpinnya. Majalah yang sempat jatuh bangun itu dimulai dengan penampilan sederhana, design ala kadarnya, dan artikel atau materinya belum variatif. Di bawah kepemimpinannya, majalah tersebut kemudian mengalami perombakan besar sehingga mengalami kemajuan besar pula,

Menurut narsum langkah awal pembuatan majalah sekolah adalah menyatukan ide. Hal ini penting untuk menyelaraskan persepsi dengan rekan-rekan yang memiliki spirit literasi. Dibutuhkan personil yang memiliki jiwa literasi sekaligus jiwa kerja sama yang tinggi untuk mengawali pendirian majalah.

Jika kesatuan ide dan spirit telah terbentuk, selanjutnya sekolah (tim perencana) menyusun proposal sebagai pijakan penting dalam memulai pembuatan majalah.

Langkah selanjutnya setelah proposal disetujui adalah menyusun redaksi majalah sekolah. Dalam susunan redaksi, diperlukan personil guru yang ikhlas dan bersedia belajar untuk menjadi crewnya. Tidak berbeda dengan susunan redaksi majalah secara umum. Karena jangkauan sasaran majalah yang terbatas, pengurus redaksi dapat dirampingkan sesuai kebutuhan. 

Langkah berikutnya adalah Membuat rancangan majalah yang mencakup nama majalah, isi berita, dan sumber biaya Apabila memiliki keterbatasan anggaran. sekolah dapat mengupayakan rekanan pendukung dari percetakan, sponsor, masyarakat, atau pihak-pihak terkait.

Ketika peserta tengah asyik mencerna tentang konsep dan struktur organisasi majalah sekolah, Narsum bertanya tentang manfaat majalah sekolah.

Pada tataran teknis, narsum mengingatkan tentang hal-hal penting dalam penerbitan majalah, antara lain, nama yang unik dan menarik, salam redaksi yang khas, berita sekolah, profil guru dan siswa, kegiatan dan karya siswa, prestasi sekolah, kuizz berhadiah, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan sekolah.

Materi Majalah Sekolah





Ternyata majalah sekolah juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak paten melalui pengajuan ISSBN dengan bantuan penerbit.

Setiap majalah memiliki konsumennya sendiri. Majalah sekolah sendiri tentunya memiliki pembaca yang terdiri dari siswa sebagai sasaran utama. Untuk itu, penting untuk menentukan gaya bahasa yang akan digunakan. Dalam hal ini, redaktur majalah harus memahami bahasa yang digunakan konsumen. Untuk pembaca anak-anak usia sekolah biasanya menggunakan gaya yang tidak terlalu formal, mudah dipahami, dan menimbulkan kesan dialogis yang hidup.

Soal lain berupa cover dan tata letak majalah tentu saja harus menarik. Tetapi menarik itu hal yang relatif. Dalam perkembangannya, majalah bisa mengalami perubahan perfomansi

Salam Literasi

Terima kasih


Sabtu, 12 Februari 2022



Kamis, 10 Februari 2022

Karya Fiksi dalam Pertemuan ke-11 BM PGRI 23-24


Malam ini kesadaran utama saya terbelah menjadi tiga bagian penting. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas diklat Perencanaan Berbaisis Data dan Pemanfataan Sumber Daya Sekolah yang diselenggarakan oleh P4TK Kemdikbud Ristek secara daring. Ke dua, menyelesaikan laporan hasil rapat perubahan pengurus sebuah yayasan di kampung saya. Ke tiga, mengikuti irama musik yang dimainkan Narasumber dan Moderator Kegiatan Belajar menulis yang hari ini, tangga 09 Februari 2022 telah sampai pada titik ke-11.

Sejak pagi saya dirundung tugas-tugas tidak berat tetapi tugas-tugas itu berjubel membentuk antrean panjang. Saya melihat diri saya sebagai sebuah mesin yang termangu di gerbang area parkir yang menunggu kedatangan pengendara dan secara bergantian menyentuh mesin itu untuk mendapatkan tiket parkir.

Akan tetapi, saya menikmati situasi hari ini. Jika orang-orang memililiki kersempatan bertualang dari satu tempat ke tempat lain, Hari saya berkesempatan melakukan petualangan pikiran. Sejak pagi saya ditantang untuk meretas gagasan-gagasan baru bagaimana membuat analisis data kualitatif dan kuantitatif sebagai basis utama perencanaan program sekolah. Sore hingga malam, saya dihadapkan pada petualangan kesadaran untuk mendeskripiskan laporan kegiatan rapat perubahan pengurus yayasan. Malam ini saya harus menerima tantangan menuangkan ide dan pikiran dalam resume pertemuan ke-11 Belajar Menulis gelombang 23-24. Apa boleh buat. "Saya pantang mundur". Biarlah pembaca budiman menangkap kesan jumawa dengan statement dalam tanda kutip ini.

"Kiat menulis Fiksi" adalah tema pelatihan ke-11 malam ini. Moderatornya Bu Helwiyah. Narasumbernya Sudomo, S.Pt.  Namanya tidak saja membentang pada flyer pelatihan ke-11. Moderator juga memperkenalkan narsum di awal peremuan sebagaimana ritual ketika pelatihan dimulai. Melihat kualifikasi pendidikannya, seharusnya Pak Sudomo menjadi bos ternak atau paling tidak bekerja pada bidang peternakan.

Tidak ada tampilan riwayat hidup dan perjalanan karir narsum pada CV yang dibagikan moderator secara detail. Akan tetapi, jika saya boleh beropini, Pak Sudomo adalah satu dari banyak penulis yang "tersesat di jalan yang benar". Artinya, kalau melihat latar belakang pendidikannya, disiplin ilmunya tidak bersentuhan secara langsung dalam dunia tulis. Fakta tentang Pak Sudomo membenarkan pernyataan salah seorang narsum sebelumnya bahwa banyak penulis dengan latar belakang pendidikan dan lingkungan yang tidak bersinggungan dengan tulis-menulis. Pak Sudomo ternyata "terperosok" ke dalam dunia itu. Rupanya Pak Sudomo lebih tertarik pada pena tinimbang miara ayam atau kambing.


 
Mengapa guru perlu memiliki kemampuan menulis fiksi? Pertanyaan ini tentu saja memantik rasa ingin tahu peserta. Katanya, "Salah satu aspek yang dinilai dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) adalah Literasi Teks Fiksi. Dengan belajar menulis fiksi, tentu seorang guru akan lebih mudah membuat soal latihan AKM bagi murid-muridnya."

Saya sepakat dengan argumen tersebut. Bagaimana guru bisa membangun kemampuan literasi pada diri siswa kalau guru tidak memiliki dasar literasi yang kuat.

Argumen lain yang sampaikan narsum tentang pentingnya menulis adalah bahwa menulis (fiksi khususnya) dapat dijadikan media untuk menutup luka. Kalau dikaitkan dengan teori karya sastra, karya fiksi biasanya bersumber dari keresahan penulis terhadap realitas kehidupan diri maupun kehidupan sosial sehari-hari. Saya sendiri bukan penulis mapan dan belum memiliki karya yang dapat diterbitkan. Akan tetapi, saya seringkali menuliskan postingan di beranda FB salah satunya ketika saya dirundung kegelisahan ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak memuaskan saya. https://bit.ly/3gx5EHJ

Pada saat yang sama, "cerita fiksi merupakan media pembelajaran alternatif yang menyenangkan bagi murid terutama menyangkut pengembangan karakter dan materi pengayaan." Alasan lainya, "menulis fiksi bisa menjadi tambahan poin dan koin, terutama jika dikumpulkan menjadi sebuah buku."

Hampir sama dengan karya tulis non fiksi. Pak Sudomo membeberkan persyaratan menulis karya fiksi. Aspek paling utama adalah komitmen dan niat kuat, diperlukan riset terkait menyangkut latar tempat. Latar tempat dalam pikiran saya mungin juga menyangkut kehidupan sosial dimana tokoh yang akan memainkan peran dalam karya. Pada akhirnya, banyak membaca menjadi pendukung utama ketika seseorang ingin menjadi penulis. Bahan bacaannya tentu saja tentang cerita fiksi karya penulis lain. 

Di samping itu penulis harus memiliki karakter tulisan. Hal ini terkait dengan gaya bahasa. Gaya bahasa itu menjadi penting karena bisa menjadi identitas tersirat seorang penulis. Misalnya saat membaca karya Ahmad Tohari dan Mukhtar Lubis, seseorang akan menemukan gaya bahasa yang berbeda pada dua penulis itu. Logikanya semakin banyak membaca, semakin banyak perbendaharan kata dan semakin baik penataan diksi dalam tulisan. Terakhir penulis harus memahami dasar-dasar karya fiksi.

Dua materi lainnya dalam pertemuan ke-11 menyangkut unsur-unsur pembangun cerita fiksi dan cara-cara menulis cerita fiksi.

Ritual terakhir dari pertemuan ke-10 adalah tanya jawab. Saya tidak kuat membaca dialog peserta dan nara sumber. Energi saya seharian sudah terkuras pada tiga hal sebagaimana saya sampaikan di awal resume. Saya hanya mampu bertahan menatap layar desktop sekitar 45 menit untuk menghasilkan resume ini. Bokong saya terlampau penat membebani kursi hidrolik tempat saya biasa menghabiskan waktu.

Selasa, 08 Februari 2022

Menulis itu mudahkah? (Pertemuan ke-10 BM PGRI)

 


Ketika flyer pertemuan ke-10 tadi sore dishare dalam WAG BM 24, Upin dan Ipin tengah minta dibelikan mobil remote oleh opah, Film animasi itu hampir pasti menjadi tontonan wajib anak saya yang baru duduk di kelas 5 sekolah dasar. Mau tidak mau, saya sesekali menikmati pula alur film negeri Paman Razak itu dengan argumen, tidak saja mengikuti dunia anak-anak tetapi banyak nilai sehari-hari yang dtunjukkan tokoh-tokohnya.

Terlepas dari tingkah polah tokoh-tokoh dalam film Upin dan Ipin, malam ini malam yang basah, Miliyaran rintik kecil sejak sore harus tunduk dalam kekuatan gravitasi. Rintik itu menukik lemah terbawa angin semilir sebelum menghempaskan diri ke permukaan rerumputan, tersangkut ranting, atau terserak pada  genangan menghampar. Sampai azan Maghrib berkumandang rintik itu masih bertahan dalam irama yang konstan.

Saat azan Maghrib berlalu kristal cair dari lengkung langit maghrib itu mulai membesar. Gemuruh suaranya menelan suara lain ketika menerpa multiroop penutup rangka atap masjid. Hujan maghrib  sekaligus menghalangi langkah ke masjid para pecinta shalat berjamaah. Akibatnya, hanya tiga kening yang sempat bersujud di atas hamparan karpet masjid pada maghrib malam ini. Cuaca tidak bersahabat itupun membuat semua anak-anak "ngaji" Qur'an tidak hadir.

Usai shalat maghrib saya tinggal di masjid. Dua orang lainnya pulang. Hujan terus menderas sampai Isya' menjelang. Saya mengambil microphone dan suara fals saya mulai melantunkan azan. Saya shalat sunah. Karena tidak ada orang yang datang saya lanjutkan shalat sendiri.

Pulang dari masjid saya langsung membuka komputer untuk mengikuti pertemuan ke-10 Belajar Menulis gelombang 24 PGRI,  Senin, 07 Februari 2022. "Menulis itu Mudah" adalah kalimat yang terbaca, setelah membaca nama sosok Narasumber dan Moderator Pelatihan. WAG sudah dikunci Bu Raliyanti saat sang Moderator mulai menyampaikan membuka pelatihan. Dengan mengutip tema tulisan "Menulis itu Mudah" moderator berusaha "menghasut" peserta untuk menanamkan keyakinan bahwa menulis itu bukan hal yang sulit.

Setelah merasa cukup dengan aksi "agitasi"-nya, Moderator lalu memperkenalkan narasumber dalam pertemuan ini. Ketika moderator seakan dengan lantang menyebutkan nama "Prof. Dr. Ngainun Naim", saya seakan mendengar riuh tepuk tangan peserta memberikan aplous untuk narasumber. Tepuk tangan makin gegap gempita ketika moderator memampang curiculum vitae narsum.

Selanjutnya, untuk menjawab ketidaksabaran peserta moderator mengajak peserta untuk memasuki sesi utama, mendengarkan presentasi narasumber.

Narsum membuka materi dengan menyampaikan kebanggaannya terhadap profesi guru. Prof. Ngainun merasakan aliran energi yang luar biasa ketika bersama dalam komunitas guru. Sebagaimana moderator, narsum juga mengawali materinya dengan menggugah kesadaran peserta bahwa MENULIS ITU MUDAH.


Setelah merasa yakin peserta sudah memiliki perubahan cara berfikir bahwa menulis itu bukan hal yang sulit, narsum mengajak peserta mengisi waktu luang untuk berlatih menulis secara konsisten. Banyak orang memiliki latar belakang yang tidak bersentuhan dengan tulis menulis ternyata berhasil menjadi penulis profesional karena memiliki komitmen dan berusaha mendisiplinkan diri dalam menulis.

Untuk menjadi penulis profesional, narsum meyakinkan bahwa capaian itu tidak bisa peroleh secara instan. Seseorang harus melalui proses yang panjang dan membutuhkan keseriusan. Pada saat yang sama, menulis juga memerlukan referensi. Oleh karena itu, seorang penulis juga harus banyak membaca. Lebih dari itu membaca bukan sekadar membaca tetapi harus ada pemahaman terhadap bacaan.

Faktor lain yang perlu diperhatikan penulis adalah kemampuan mengelola waktu. Kesibukan hanyalah alasan klasik untuk menghibur diri ketika seseroang tidak dapat melakukan aktivitas menulis. Pesan narsum, "jangan MENUNGGU WAKTU LUANG tapi mari LUANGKAN WAKTU"

Ketika sudah berhasil mengelola waktu, narsum menyarankan agar peserta "rajin mengamati, mencatat, dan mengolah apa yang sudah dicatat menjadi tulisan." Seorang penulis selalu berupaya mengamati setiap peristiwa, pengalaman, dan hal-hal menarik sehari-hari. Hasil pengamatan tersebut kemudian dijadikan catatan lalu dituangkan menjadi sebuah tulisan utuh.

Prof. Ngainun Naim memberikan  contoh tulisan berupa pengalaman perjalanan yang dituangkan dalam link spirit literasi dan .spirit-literasi1. Prof juga memberikan kesempatan kepada peserta untuk berkunjung ke blog pribadinya pada link ngainun-naim.

Saat membaca tulisan penulis profesional pada link di atas, saya melihat susunan kata demi kata tertata dengan apik, kalimat mengalir tenang dan runtut, dan kontinuitas antar paragraf sangat konsisten. Untuk mencapai kampuan seperti itu tentu butuh perjuangan yang panjang dan kesungguhan.

Prof. Ngainun Naim mengakhiri "ceramahnya" dan memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya tentang tulis-menulis. Pertanyaannya beragam antara lain, ketidakpercayaan diri untuk menulis dan enggan menyebarkannya kepada orang lain, cara mewujudkan konsep menulis sebagai hal yang mudah, cara mengatur waktu untuk menulis di sela-sela kesibukan, dan sebagainya. Pertanyaan lainnya tentang cara mempengaruhi orang lain atau teman sejawat untuk menulis. Ada pula yang masih gagap dalam mengatasi kebuntuan pena saat sedang menulis.

Belasan pertenyaan itu pada dasarnya sudah terjawab pada pertemuan-pertemuan sebelumnya oleh. Hampir pasti pertanyaan itu muncul dalam setiap pertemuan. Saya memilih diam dan menuntaskan resume.

Terima kasih.

Senin, 07 Februari 2022

Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Dokpri Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda ...