Menulis, pada banyak orang, acapkali dipersepsikan sebagai kegiatan yang sulit dan dipercaya merupakan keterampilan bawaan. Persepsi ini bisa jadi setara dengan persepsi banyak orang tentang sulitnya pelajaran matematika, kimia, atau fisika. Banyak orang bisa berbicara tanpa jeda tetapi kehilangan kata-kata saat diminta menulis. Pikiran dan jemarinya kaku ketika kegiatan berbicara diganti dengan menulis.
Sebagai keterampilan bawaan, menulis dipercaya sebagai keterampilan yang melekat begitu saja tanpa proses belajar. Anggapan ini mengandaikan bahwa keterampilan menulis tidak dapat dipelajari atau dilatih. Menulis bagai sebuah kesaktian yang diwarisi seorang tokoh pendekar dalam cerita dongeng secara turun temurun tanpa latihan khusus.
Pada dasarnya, keterampilan menulis sama dengan keterampilan lainnya. Diperlukan proses belajar agar keterampilan menulis itu berkembang. Dibutuhkan latihan serius dan konsisten agar kemampuan itu dapat dicapai. Seseorang harus terus berlatih menata kata dan menyusun kalimat agar kemampuan menulisnya terasah.
Menulis memang tidak saja membutuhkan kemampuan berfikir tetapi juga kemampuan berimaginasi. Seorang penulis harus mampu menggunakan kekuatan imaginasinya dalam membuat narasi tentang pikiran dan pengalamannya.
Nurgiyantoro, dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, menjelaskan bahwa keterlibatan daya imaginasi penulis tidak saja dalam proses penulisan karya fiksi tetapi juga dalam tulisan yang mempergunakan data dan peristiwa faktual seperti surat kabar dan majalah. Imaginasi dalam pandangan Nurgiyantoro bukan semata-mata sesuatu yang bersifat khayali atau rekaan belaka. Imaginasi juga sekaligus “kemampuan mencipta”. Pada titik ini, kemampuan mencipta sesungguhnya melibatkan proses kreatif yang tentu saja membutuhkan kemampuan berfikir.
Uraian di atas merupakan sebagian kecil materi yang saya peroleh dari pelatihan belajar menulis daring asuhan Wijaya Kusuma atau Om Jay. Sebuah kelas menulis gratis melalui aplikasi Whatsapp. Mungkin banyak orang memiliki keraguan bahwa pelatihan dengan menggunakan aplikasi WA tidak efektif atau capaian tujuan tidak optimal.
20 hari pertama saya belajar banyak hal dari pelatihan tersebut. Salah satunya, keberhasilan pelatihan bukan tergantung pada kemewahan dan kecanggihan media yang digunakan. Pelatihan belajar menulis PGRI membuktikannya. Kegiatan ini telah berhasil melahirkan penulis-penulis muda. Bahkan di antara penulis itu mulai karier menulis saat usianya 55 tahun.
Apa kuncinya? Ternyata menulis itu sangat tergantung pada motivasi internal seseorang. Kemauan yang kuat, komitmen dan konsistensi, dan motivasi diri adalah kunci keberhasilan.
Dalam proses belajar itu saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai penjuru tanah air dengan latar belakang sosial, budaya, dan agama yang beragam. Berada dalam kelas menulis itu, saya seakan berjumpa dengan orang-orang berambut keriting sampai berambut lurus atau berada dalam sebuah ruang bersama rekan-rekan tanah air dengan logat khas daerah masing-masing.
Namanya saja belajar menulis. Untuk melatih kemampuan menulis peserta harus praktek membuat tulisan. Tugas menulis yang diberikan tergolong sangat sederhana. Tugas menulis hanya terkait dengan materi pelatihan yang disampaikan setiap narasumber. Peserta pelatihan tidak dituntut untuk membuat tugas berat dengan mencari ide populer atau tema-tema yang tengah digandrungi publik. Konsep pelatihan seperti ini membuat peserta mengikuti pelathan seolah tanpa beban. Saya sendiri (mungkin juga peserta lain) merasa membuat tugas menulis seperti menulis notulensi hasil rapat. Ini sesuatu yang bagus untuk meletakkan pondasi kemampuan menulis.
Peserta menikmati pelatihan karena diberikan kebebasan untuk membuat tugas resume dengan gaya penulisan masing-masing peserta. Peserta juga diberikan kebebasan mengembangkan materi resume dengan sumber tulisan selain materi dari narasumber, baik yang bersumber dari informasi tercetak maupun sumber informasi digital dengan cara googling. Ketika dunia pemdidikan dijejali pikiran dengan konsep merdeka belajar, proses belajar menulis PGRI telah melakukannya dengan sangat baik.
Peserta juga tidak dituntut membuat tulisan dengan menggunakan prosedur penulisan baku. Peserta tidak harus mulai dengan menentukan topik atau tema tertentu, lalu membuat kerangka tulisan, dan mengembangkan kerangka itu menjadi tulisan utuh. Tidak. Peserta hanya membuat resume materi pelatihan pada setiap pertemuan. Sesederhana itu.
Satu hal yang luar biasa adalah sikap saling memotivasi antar peserta. Sikap ini terlihat dari tanggapan tulisan antar sesama peserta. Tidak saja motivasi antar sesama peserta, narsum juga meluangkan waktu membaca tulisan peserta dan memberikan tanggapan terhadap tulisan tersebut.
Rerata narsum yang dihadirkan merupakan orang-orang yang berpengalaman dalam dunia tulis menulis, penerbitan naskah, sampai pendistribusian hasil karya yang telah diterbitkan. Uniknya lagi sebagian narasumber ternyata alumni belajar menulis tersebut. Kelompok narsum terakhir ini bahkan telah berhasil menerbitkan buku. Luar biasa.
Akhirnya saya hanya bisa menulis tanpa karya yang layak diterbitkan.
Lombok Timur, 06 Maret 2022