Minggu, 06 Maret 2022

Belajar Menulis PGRI

 



Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Dalam ilmu linguistik, menulis secara sederhana diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide secara tertulis yang bertujuan memberikan informasi kepada seseorang atau sekelompok orang.

Menulis, pada banyak orang, acapkali dipersepsikan sebagai kegiatan yang sulit dan dipercaya merupakan keterampilan bawaan. Persepsi ini bisa jadi setara dengan persepsi banyak orang tentang sulitnya pelajaran matematika, kimia, atau fisika. Banyak orang bisa berbicara tanpa jeda tetapi kehilangan kata-kata saat diminta menulis. Pikiran dan jemarinya kaku ketika kegiatan berbicara diganti dengan menulis.

Sebagai keterampilan bawaan, menulis dipercaya sebagai keterampilan yang melekat begitu saja tanpa proses belajar. Anggapan ini mengandaikan bahwa keterampilan menulis tidak dapat dipelajari atau dilatih. Menulis bagai sebuah kesaktian yang diwarisi seorang tokoh pendekar dalam cerita dongeng secara turun temurun tanpa latihan khusus.

Pada dasarnya, keterampilan menulis sama dengan keterampilan lainnya. Diperlukan proses belajar agar keterampilan menulis itu berkembang. Dibutuhkan latihan serius dan konsisten agar kemampuan itu dapat dicapai. Seseorang harus terus berlatih menata kata dan menyusun kalimat agar kemampuan menulisnya terasah. 

Menulis memang tidak saja membutuhkan kemampuan berfikir tetapi juga kemampuan berimaginasi. Seorang penulis harus mampu menggunakan kekuatan imaginasinya dalam membuat narasi tentang pikiran dan pengalamannya.

Nurgiyantoro, dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, menjelaskan bahwa keterlibatan daya imaginasi penulis tidak saja dalam proses penulisan karya fiksi tetapi juga dalam tulisan yang mempergunakan data dan peristiwa faktual seperti surat kabar dan majalah. Imaginasi dalam pandangan Nurgiyantoro bukan semata-mata sesuatu yang bersifat khayali atau rekaan belaka. Imaginasi juga sekaligus “kemampuan mencipta”. Pada titik ini, kemampuan mencipta sesungguhnya melibatkan proses kreatif yang tentu saja membutuhkan kemampuan berfikir.


Uraian di atas merupakan sebagian kecil materi yang saya peroleh dari pelatihan belajar menulis daring asuhan Wijaya Kusuma atau Om Jay. Sebuah kelas menulis gratis melalui aplikasi Whatsapp. Mungkin banyak orang memiliki keraguan bahwa pelatihan dengan menggunakan aplikasi WA tidak efektif atau capaian tujuan tidak optimal.

20 hari pertama saya belajar banyak hal dari pelatihan tersebut. Salah satunya, keberhasilan pelatihan bukan tergantung pada kemewahan dan kecanggihan media yang digunakan. Pelatihan belajar menulis PGRI membuktikannya. Kegiatan ini telah berhasil melahirkan penulis-penulis muda. Bahkan  di antara penulis itu mulai karier menulis saat usianya 55 tahun.

Apa kuncinya? Ternyata menulis itu sangat tergantung pada motivasi internal seseorang. Kemauan yang kuat, komitmen dan konsistensi, dan motivasi diri adalah kunci keberhasilan.

Dalam proses belajar itu saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai penjuru tanah air dengan latar belakang sosial, budaya, dan agama yang beragam. Berada dalam kelas menulis itu, saya seakan berjumpa dengan orang-orang berambut keriting sampai berambut lurus atau berada dalam sebuah ruang bersama rekan-rekan tanah air dengan logat khas daerah masing-masing.

Namanya saja belajar menulis. Untuk melatih kemampuan menulis peserta harus praktek membuat tulisan. Tugas menulis yang diberikan tergolong sangat sederhana. Tugas menulis hanya terkait dengan materi pelatihan yang disampaikan setiap narasumber. Peserta pelatihan tidak dituntut untuk membuat tugas berat dengan mencari ide populer atau tema-tema yang tengah digandrungi publik.  Konsep pelatihan seperti ini membuat peserta mengikuti pelathan seolah tanpa beban. Saya sendiri (mungkin juga peserta lain) merasa membuat tugas menulis seperti menulis notulensi hasil rapat. Ini sesuatu yang bagus untuk meletakkan pondasi kemampuan menulis.

Peserta menikmati pelatihan karena diberikan kebebasan untuk membuat tugas resume dengan gaya penulisan masing-masing peserta. Peserta juga diberikan kebebasan mengembangkan materi resume dengan sumber tulisan selain materi dari narasumber, baik yang bersumber dari informasi tercetak maupun sumber informasi digital dengan cara googling. Ketika dunia pemdidikan dijejali pikiran dengan konsep merdeka belajar, proses belajar menulis PGRI telah melakukannya dengan sangat baik.

Peserta juga tidak dituntut membuat tulisan dengan menggunakan prosedur penulisan baku. Peserta tidak harus mulai dengan menentukan topik atau tema tertentu, lalu membuat kerangka tulisan, dan mengembangkan kerangka itu menjadi tulisan utuh. Tidak. Peserta hanya membuat resume materi pelatihan pada setiap pertemuan. Sesederhana itu.

Satu hal yang luar biasa adalah sikap saling memotivasi antar peserta. Sikap ini terlihat dari tanggapan tulisan antar sesama peserta. Tidak saja motivasi antar sesama peserta, narsum juga meluangkan waktu membaca tulisan peserta dan memberikan tanggapan terhadap tulisan tersebut.

Rerata narsum yang dihadirkan merupakan orang-orang yang berpengalaman dalam dunia tulis menulis, penerbitan naskah, sampai pendistribusian hasil karya yang telah diterbitkan. Uniknya lagi sebagian narasumber ternyata alumni belajar menulis tersebut. Kelompok narsum terakhir ini bahkan telah berhasil menerbitkan buku. Luar biasa.

Akhirnya saya hanya bisa menulis tanpa karya yang layak diterbitkan.

Lombok Timur, 06 Maret 2022

Sabtu, 05 Maret 2022

Penulis Buku Mayor (Pertemuan ke-21 BM PGRI)


Belajar menulis makin menuju mumpuni. Bagaimana tidak narasumber yang dihadirkan rerata memiliki kompetensi mumpuni di bidangnya. Pada pertemuan ke-21, o4 Maret 2022, Narsumnya tidak kalah mumpuni. Namanya saja JOKO IRAWAN MUMPUNI. Sang Diirektur penerbitan Andi itu langsung terjun berbagi ilmu kepada peserta. Pejabat tertinggi dalam penerbit skala mayor itu bersedia meluangkan waktunya untuk terlibat membersamai peserta pelatihan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dua puluh kali bumi berkeliling mengitari pusat tata surya merupakan rentang pengalaman yang sangat panjang menjalani dunia penerbitan dan penulisan.

"...teknologi informasi berkembang pesat seperti sekarang ini; orang hanya mengenal penerbit Mayor dan penerbit Minor, masing-masing punya pendapat masing-masing apa yang membedakan penerbit mayor dan penerbit minor. Namun semua pendapat itu merujuk pada satu kesimpulan yang pasti yaitu Jumlah terbitan buku pertahun penerbit mayor jauh lebih banyak dibanding penerbit minor. berapa jumlahnya? masing-masing punya pendapat sendiri."

Demikian narasi pembuka materi pelatihan yang disampaikan Pak Mumpuni, sesaat setelah moderator mempersilakannya mulai mengambil-alih jalannya pelatihan. Ribuan penerbit di Indonesia, menurut narsum, hanya sedikit yang dapat menyandang penerbit mayor. Penerbit Andi merupakan salah satu dari sedikit penerbit mayor itu.

Persepsi penulis tentang penerbit mayor jauh lebih bergengsi dan membanggakan tinimbang penerbit minor atau penerbit indie. Persepsi ini muncul karena naskah karyanya akan dikelola lebih profesional. Penerbit mayor secara umum memiliki fasilitas penerbitan yang lebih baik, mempunyai modal yang lebih besar, percetakan, dan sumber daya manusia dengan jangkauan pemasaran yang lebih luas.

Namun demikian, hasil karya seorang penulis tidak bisa dengan mudah dapat diterbitkan pada penerbit mayor. Hasil karya yang dapat diterbitkan harus melalui seleksi yang ketat. Penulis harus bersaing dengan sejumlah besar penulis lain untuk menjadi pemenang sehingga karyanya dapat diterbitkan. Penerbit ANDI, misalnya, harus melakukan seleksi tulisan antara 300 sd 500 naskah. Dari semua tulisan tersebut,  hanya 50 sd 60 judul saja yang bisa masuk mesin cetak. Sisanya dikembalikan kepada  penulis atau ditolak. Hal ini membuat penulis memilih alternatif lain dengan menggunakan jasa penerbit indie.

Kepada peserta, narsum memberikan kesempatan  untuk melakukan refleksi diri tentang kondisi psikologis masing-masing terhadap level kepercayaan diri untuk menawarkan karyanya terhadap penerbit mayor.

Narsum mencoba mempersuasi peserta dengan menulis, "saya yakin semua sudah ada di lavel paling atas... hanya kurang PD atau kurang nekad aja sehingga karyanya nggak muncul muncul."

Penerbitan adalah badan usaha yang berorientasi profit dengan melibatkan banyak pihak yang semuanya penting. Narsum memberikan gambaran melalui skema tentang posisi penerbit sebagai berikut.


Skema di atas, dalam pemahaman saya, menunjukkan bahwa penerbit bagai titik pusat tata surya. Penerbit bagai segumpal bintang mahabesar yang dikelilingi oleh sejumlah besar planet. Planet-planet itu terdri dari pengarang/penulis, agent pustaka, penerjemah, seniman, dan pemodal (bank, investor). Ada juga lembaga pembeli (sekolah, perpustkaan, dll), penyalur atau pedagang, komunitas literasi, distribusi masal, penjual dengan langganan, eksportir. Semua unsur itu mengerucut kepada pemakai buku perorangan.

Seluruh jaringan kepenerbitan di atas jika disederhanakan akan membentuk skema seperti berikut ini.
dalam skema lain penerbitan itu semacam rantai makanan dalam dalam sebuah ekosistem. namun demikian, hubungan dalam skema itu tidak sekejam persitiawa makan memakan. Empat unsur itu (penulis, penerbit, penyalur, dan pembaca) memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.

Dalam dunia penerbitan, sebagaimana dunia bisnis pada umumnya, tentu saja banyak hambatan. Faktor penyebabnya lebih sering disebabkan oleh sikap individual yang membentuk karakter kolektif. Sikap itu menyangkut minat baca dan menulis serta apresiasi hak cipta. Semua faktor tersebut menyebabkan rendahnya sikap dan budaya literasi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga.

Terkait dengan kriteria penerbit yang dapat dipercaya, narsum menyebutkan beberapa indikator. Penerbit memiliki visi dan misi yang jelas, bisnis core lini tertentu, pengalaman, jaringan distribusi yang luas, fasilitas percetakan yang mandiri, keberanian mencetak jumlah eksemplar, dan kejujuran dalam pembeyaran royatlti.

Bagi penulis, penerbitan memberikan nilai positif berupa kepuasan, reputasi, karier, dan keuntungan royalti atau uang. Jika karya penulis diterbitkan penerbit mayor akan ada kepuasan, ada gengsi, dan status sosial. Di samping itu penulis juga akan memiliki Reputasi, sebuah citra yang mengambarkan kelas, kemampuan, dan kualitas dirinya sebagai penulis. Reputasi itu pada akhirnya akan sangat mendukung karier kepenulisannya sekaligus kompensasi materi yang diperolehnya melalui karyanya.

Selanjutnya narsum membawa peserta kepada materi sekitar kriteria naskah yang diterima atau ditolak, Paling tidak kriteria naskah berdasarkan kemungkinan untuk diterbitkan terbagi dalam kuadran. Pertama, tema populer dan penulis pepuler. Ke dua, tema tak populer dengan penulis populer. Ke tiga, tema populer dengan penulis tak populer, Ke empat, tema tak populer dengan penulis tak populer. Menurut narsum naskah yang tidak diterbitkan hanya kuadran ke empat.
Materi lain yang disampaikan narsum adalah teknik mencari tema dan penulis populer dengan mennggunakan fasilitas yang disediakan google. Narsum menyarankan peserta membuat akun google scholar agar lebih mudah dalam menelusiri tema-tema populer yang dapat dijadikan acuan dalam membuat tulisan.

Di akhir pertemuan narsum memberikan pilihan kepada peserta; menjadi penulis idealis, penulis industrialis, atau kombinasi dari keduanya (idealis-indstrialis)


Kamis, 03 Maret 2022

Dapur Penerbit Mayor (Pertemuan ke-20)


Flyer pertemuan di atas dibagikan kembali Pak Dail Maruf, salah seorang admin, moderator, sekaligus motivator pada WAG Belajar Menulis 24 PGRI. Pada pertemuan ke-20, panitia menghadirkan narasumber, Edi S. Mulyanta, dengan moderator Mulyadi.

Sebagai pembuka, moderator menjelaskan bahwa pertemuan ke-20 dapat disebut cek point pertama, Jika resume ke-20 selesai, peserta bisa langsung mengembangkannya menjadi sebuah buku solo. Sebuah kesempatan emas bagi peserta yang terus melaju di atas bentangan resume tanpa adanya koyak pada salah satu dari 20 resume tersebut.

Moderator mempersilakan peserta mengisi abensi sebagai bukti kehadiran pertemuan. Moderator memperkenalkan narsum lebih detail. Narsum yang didapuk memberikan materi "Mengenal Dapur Penerbit Mayor" memiliki pengalaman yang panjang dalam dunia penerbitan. Beliau menjadi salah satu orang yang memiliki peran penting pada Penerbit Andi sejak tahun 2002. Berbagai jabatan telah disandang, mulai dari staff Litbang sampai posisi publishing consultant & e-book development sampai saat ini.

Lebih dari itu, narsum juga seorang akademisi dan penulis. Menurut moderator, buku-buku karya narsum telah bertebaran di berbagai toko buku. Buku tersebut sebagian besar berhubungan dengan dunia teknik. Karyanya sesuai dengan latar belakang pendidikan magisternya dibidang teknik elektro. Jika Tuan dan Nyonya berkenan mengenal lebih dekat narsum silakan berkunjung ke tautan https://www.pbuandi.com/2021/11/edi-s-mulyanta.html?view=flipcard

Sampai pada paragraf terakhir di atas, saya meninggalkan layar komputer karena harus menghadiri acara tahlilan atas meninggalnya salah seorang warga sekaligus kerabat dekat di kampung saya. Kembali dari tahlilan waktu sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam. Saya kembali berjibaku dengan pesan WAG, memutar roda mouse, menata kalimat dalam paragraf demi paragraf.

Membuka topik pertemuan, narsum menegaskan bahwa indikator penerbit mayor salah satunya mampu menerbitkan buku sampai lebih dari 200 judul setiap tahun.

Seperti bisnis pada umumnya, perusahaan penerbit pada masa pandemi mengalami stagnasi. Kondisi ini telah dijelaskan Pak Agus Subarna pada pertemuan ke-19. Namun, tidak demikian dengan penerbit Andi. Perusahaan tetap menerbitkan buku sampai 200 judul. Kendala besarnya, penerbit harus berhadapan dengan tutupnya oulet akibat efek global terpaan pandemi. Narsum menulis, "Semasa pandemi, kami tetap menerbitkan buku di atas 200 judul, meskipun terkendala produksi yang sempat tutup karena outlet toko buku juga terdampak pandemi."

Tahun 2019 merupakan tahun yang paling berat dalam dunia penerbitan buku. Hal ini dipicu oleh perubahan besar dalam teknologi digital atau teknologi informasi dan komunikasi. Undang-undang nomor 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan dengan kebijakan tentang penggunaan media digital menggantikan media cetak telah secara niscaya melumpuhkan bisnis percetakan secara umum. 

Kebijakan tersebut dipertajam lagi dengan Peraturan Pemerintah no 75 yang keluar pada tahun 2019. Dalam pasal 2 disebutkan tentang bentuk buku terdiri dari buku cetak dan buku elektronik. Kebijakan ini jelas mengancam pelaku bisnis penerbitan media cetak karena buku elektornik atau buku digital jauh lebih praktis penggunaannya tinimbang buku media cetak. Kehadiran media elektronik dalam dunia lterasi akan lebih memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi masyarakat. Seseorang tidak perlu membawa buku, surat kabar, atau media literasi lainnya kemana-mana untuk memenuhi hasrat membacanya.

Namun demikian, kebijakan pemerintah di atas tidak menimbulkan kepanikan bagi penerbit Andi. Penerbit memandang bahwa buku format digital masih merupakan embrio yang belum menghasilkan keuntungan yang sama dengan buku fisik. Sehingga masa depan buku fisik masih sangat menarik untuk tetap diproduksi. 

Berdasarkan skema di bawah ini buku cetak tetap masih relevan sebagai sumber informasi dalam ledakan teknologi yang mencengkeram dunia informasi.

Narsum tetap optimis bahwa media atau buku cetak belum dapat digantikan sepenuhnya oleh buku digital. Kebutuhan buku cetak dalam dunia pendidikan masih menempati posisi utama. Berdasarkan PP yang ada, narsum menggambarkan jenis buku yang masih menjadi kebutuhan primer pada satuan pendidikan dari tingkat terendah sampai perguruan tinggi. Berdasrkan PP inilah penerbit menjalankan mesin cetaknya agar tetap berjalan normal.
Perubahan paradigma baru pembelajaran juga memberikan peluang cukup besar bagi penerbitan buku cetak. Ide "merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka", menuntut bisnis penerbitan berkompetisi secara sehat menerbitkan buku yang mendukung literasi dasar. Situasi ini merupakan peluang dan makin menarik dunia penerbitan dan bidang tulis-menulis.

Kebutuhan literasi dasar ini tentu saja memberikan peluang kepada para guru untuk menghadirkan sumber literasi bagi siswa. Guru, sebagai pemimpin pembelajaran, merupakan pihak uang paling memahami kebutuhan dasar tersebut. Dalam konteks ini, dan guru dapat menjalin "simbiosis mutualisme" dalam rangka memenuhi kebutuhan buku sebagai sumber belajar.

Namun demikian, peluang di atas bukan tanpa kendala. Bagi penerbit, masalah utamanya adalah menemukan penulis dengan tema marketable. Sebagai sebuah usaha yang berorientasi keuntungan, penerbit harus memperhatikan pasar. Untuk mengatasi hal ini penerbit biasanya akan melakukan scouting, atau pencarian tema dan penulis. Upaya ini dilakukan melalui kerjasama dengan team riset pemasaran untuk menentukan tema-tema yang masih relevan di pasar. Penerbit tidak dapat mengesampingkan data pasar buku di Indonesia. Data pemasaran ini menjadi penting untuk memberikan gambaran arah produksi buku yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

Pada penerbit mayor biasanya tersedia dana untuk memilih terbitan buku yang menjadi sasarannya, sehingga semua biaya produksi hingga pemasaran dilakukan oleh penerbit tersebut. Narsum menyampaikan bahwa konsep dasar pembiayaan dalam penerbitan buku adalah penerbitnya yang membiayai. Namun demikian tidak semua tulisan yang diajukan kepada penerbit dapat diterbitkan. Pihak penerbit harus melakukan penilaian terlebih dahul terhadap sebuah tuliasn untuk memastikan kesesuaiannya dengan misi dan visi penerbit. Itulah sebabnya banyak tulisan yang tidak dapat diterbitkan atau ditolak penerbit. Pada titik ini, penerbit memberikan skema yang berbeda, misalnya dibiayai oleh penerbitnya sendiri, baik melalui skema dana pribadi, CSR Perusahaan, Dana Penelitian Daerah, Dana Sekolah dll.

Narsum memberikan alternatif teknis yang tepat untuk penulis pemula. Sejumlah penulis dapat membuat proyek menulis berbarengan atau keroyokan dengan pembiayaan gotong royong. Tentu saja ada plus minusnya. Plusnya, penulis dapat saling melengkapi terkait konten tulisan. Minusnya, terutama angka kredit yang kecil karena dibagi beberapa penulis.

Rabu, 02-03-2022

Selasa, 01 Maret 2022

Pemasaran Buku (Pertemuan ke-19)


Akhirnya pelatihan belajar menulis sampai pada pertemuan ke-19 malam ini, hari terakhir bulan Februari pada tahun 2022. Malam ini saya sebenarnya berhadapan dengan kegiatan tatap maya rapat guru untuk menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah 2022. Penyusunan RKAS tahun ini agak terlambat. Seharusnya RKAS sudah tersusun pada bulan Januari. Keterlambatan ini diesbabkan oleh beberapa kegiatan lain yang bersifat mendesak.
Saya mulai membuka WAG Belajar menulis 24 ketika pertemuan sudah berada pada sesi tanya jawab. Telunjuk saya bergerak memutar roda scroll mouse untuk mencari titik awal pertemuan malam ini. Saya mendapati pesan WA moderator, Bu Raliyanti, ketika memberikan permaklukan bahwa pintu pesan WAG dikunci sementara. Moderator lalu menayangka flyer pengumuman pelatihan untuk memperkenalkan narsum, Agus Subardana, dan materi yang akan menjadi tema sentral. "Pemasaran Buku", demikian materi pelatihan pada pertemuan ke-19.

Pertemuan malam ini sesuatu yang luar biasa karena menghadirkan narasumber, Agus Subardana, S.E., M.M. Saat ini narsum menjabat sebagai Direktur Marketing Penerbit ANDI Yogyakarta. Sebelum masuk ke dalam materi inti, narsum mulai membuka pertemuan dengan menulis pesan sebagai berikut.

"Buku merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan dan sarana utama bagi proses pembelajaran serta sarana  penyampaian informasi. Sejak usia dini, anak – anak telah diperkenalkan pada buku dan diajarkan untuk membaca beraneka ragam terbitan buku. 
Dalam rangka mempersiapkan generasi muda yang cerdas dengan minat baca yang tinggi khususnya anak-anak, pemerintah mendorong kegiatan membaca sebagai wujud dukungan dan tindakan nyata dalam membangun budaya membaca sejak dini. Dukungan pemerintah terhadap budaya membaca buku dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap buku, menciptakan peluang usaha bagi pengusaha yang bergerak di bidang penerbitan buku."

Narsum menjelaskan bahwa lesunya berbagai industri akibat pandemi covid-19 tidak membuat industri penerbitan buku mengalami hal yang sama pada skala internasional. Laporan Nielsen BookScan ICM, menyebutkan bahwa penjualan buku secara global sampai akhir 2021 (YTD) mengalami pertumbuhan cukup signifikan

berdasarkan sumber yang sama narsum menyebutkan bahwa "...genre buku yang mengalami kenaikan adalah “Food & Drink” yang pertumbuhannya mencapai 33% atau menjadi 2,8 juta Euro. Selanjutnya, pada genre Fiksi tumbuh 9% (menjadi 7,1 juta Euro), genre Leisure & Lifestyle tumbuh 37% (menjadi 1,4 juta Euro), genre Personal Development tumbuh 11% (menjadi 2,2 juta Euro), dan genre Children & Young Adult Non-Fiction tumbuh 15% (menjadi 1,5 juta Euro)."


Informasi yang disampaikan narsum tentu merupakan kabar positif bagi dunia literasi. Tidak saja tentang semakin membaiknya kesadaran lietrasi global tetapi juga sesuatu yang menguntungkan bagi bisnis penerbitan dan tentu saja bagi para penulis.

Rupanya perkembangan positif skala global tidak terjadi di Indonesia. Narsum menjelaskan, 

"Dari analisa pasar dan Diungkapkan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), seperti yang dikutip dari situs resmi www.ikapi.org, industri penerbitan nasional terdampak cukup keras dalam terpaan pandemi. Lantaran, tutupnya toko-toko buku, sekolah-sekolah, dan pengadaan buku oleh dinas/perpustakaan.
Berdasarkan hasil survei Ikapi, sebanyak 58,2% penerbit mengeluhkan penjualan yang turun lebih dari 50%. Separuh penerbit juga menyebutkan merosotnya produktivitas karyawan secara tajam dalam kondisi work from home (WFH) saat ini. Bahkan, sebanyak 60,2% penerbit menyatakan bahwa mereka hanya sanggup menggaji karyawan selama tiga bulan dan hanya 5% yang menyatakan sanggup bertahan sampai satu tahun."


Tidak demikian dengan penerbit Andi. Beberapa buku mengalami permintaan pasar yang cukup positif. Narsum menulis "...genre buku yang kontribusinya justru bertumbuh di masa pandemi. Antara lain, genre buku sekolah, buku anak, masak, self improvement, hukum, Bisnis, parenting & family, dan computing & technology,"

Bagaimana melakukan pemasaran buku agar berhasil dengan baik? Menurut narsum, strategi pemasaran penjualan buku sangat dipengaruhi oleh banyak aspek dan unik. Pemasaran buku dapat dilakukan berdasarkan jenis buku yang di terbitkan dan dikelompokkkan berdasarkan kategori buku.

Penerbit ANDI Offset sendiri memiliki katagori buku produk hingga mencapai 32 katagori yang terdiri dari katagori buku anak, buku bisnis, Buku Pertanian, Buku Fiksi - Novel, Buku Pengembangan Diri, Buku Teks, dll.

Berdasarkan katagori buku tersebut penerbit melakukan pemetaan berdasarkan segmentasi jenis katagori buku. Secara umum, kegiatan pemasaran buku sangat berkaitan erat dengan koordinasi beberapa kegiatan bisnis. Untuk itu strategi pemasaran pada umumnya di pengaruhi oleh faktor yang meliputi:
1. Faktor Mikro yaitu perantara, pemasok, pesaing dan masyarakat.
2. Faktor Makro yaitu demografi-ekonomi, politik-hukum, teknologi-fisik dan sosial-budaya.

Penerbit Andi sendiri menjalankan bisnis Penerbitan Buku dengan memperhatikan kedua faktor di atas, Faktor Mikro dan Makro. Hal ini dapat dipahami karena Penerbit ANDI Offset sudah termasuk Industri Penerbitan buku yang sudah cukup berpengalaman selama 42 tahun dengan sekitar 15.000 judul buku yang telah diterbitkan. www.andipublisher.com 

Strategi pemasaran penerbit Andi dilakukan dengan dua cara yaitu moda online dan offline. Narsum secara detail menjelaskan dua strategi penjualan tersebut dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut.

A. Strategi Online.

Strategi online menjadi salah satu alterniatif pemasaran merupakan wujud transformasi digital sebagai dampak pandemi covid-19. Sebagai salah satu cara mendulang konsumen, cara ini merupakan pilhan tepat untuk menghindari persentuhan antar orang perorang dalam rangkan mencegah penyebaran pandemi.

Adanya transformasi digital memberikan keuntungan perusahaan antara lain,b iaya lebih relatif terjangkau atau murah, daya Jangkauan sangat luas, mudah menentukan target pasar buku, komunikasi dengan konsumen lebih efektif, lebih cepat popular, dapat meningkatkan Penjualan, evaluasi dan pengembangan marketing lebih mudah.

Dengan strategi online, pemasaran dapat dilakukan melalui komunitas. Setiap orang atau perusahaan dapat memanfaatkan komunitas untuk memasarkan buku terbitannya. Pemasaran melalui jaringan komunitas ini dapat dilakukan secara efektif efsien apabila dilakukan komunikasi lebih proaktif  dengan tetap menjaga integritas pribadi. Penerbit Andi melakukan pemasaran melalui link Zoom, Live. Youtube TV ANDI, dengan tema – tema yang menarik.

B. Startegi Offline

Penterasi pasar merupakan langkah utama dari strategi offline. Untuk strategi ini diperlukan analisis pemetaan wilayah dengan membuka cabang tiap kota besar yang potensi pasarnya sangat baik. Penerbit Andi telah mempunyai 90 cabang di kota dari Aceh s.d Papua, dengan menempatkan tenaga pemasaran di tiap kantor cabang tersebut.

Strategi pemasaran offline dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara paling umum adalah pemasaran di toko bukuPenerbit buku, dalam hal ini Penerbit Andi, yang mampu memproduksi sendiri dan mempunyai mesin percetakan sendiri, termasuk sebagai pemasok besar ke toko buku di Indonesia. Target toko buku juga harus selektif dan memiliki kriteria tertentu, nisalnya managemen toko yang baik, toko memiliki popularitas, dan proses transaksi yang tidak mengecewakan penerbit.

Direct selling merupakan teknik lain dalam pemasaran offline berikutnya. Direct selling adalah  penjualan langsung kepada konsumen. Cara ini dipandang efektif untuk membangun bisnis yang fleksibel dan berbiaya rendah. Hal ini dapat dipahami karena memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya iklan, menghindari biaya overhead, dan membangun hubungan pelanggan yang tahan lama dan jangka panjang.

Selasa, 01-03-2022

Jumat, 25 Februari 2022

Penerbit Indie Sebagai Alternatif Penerbitan (Pertemuan ke-18 BM 23-24)


Adalah Raimundus Brian Prasetiawan, S.Pd, narasumber pelatihan belajar menulis PGRI pada pertemuan ke-18. Didampingi moderator, Brian diberikan mandat membersamai peserta pelatihan dengan materi "Menerbitkan Buku Semakin Mudah di Penerbit Indie"

Membaca profil narsum yang dibagikan moderator, dalam kebeliaannya narsum sudah malang melintang dalam dunia literasi sejak lama. Sejumlah tulisannya tersebar pada berbagai blog. Narsum juga telah berhasil menerbitkan buku solo dan antologi. Narsum juga telah memahat prestasi dalam sejumlah kompetisi tulis menulis. Pak Brian tidak saja menjadi nara sumber pada pelatihan menulis PGRI asuhan Om Jay. Guru dan penulis muda itu juga sering menjadi narasumber pada berbagai pelatihan, webinar, forum diskusi, dan kegiatan serupa.

Setelah membuka kegiatan, moderator memberikan kesempatan kepada narsum untuk menyampaikan materi. Narsum mulai menyampaikan materi pembuka dengan mengabarkan informasi positif bahwa peserta dapat membuat buku jika telah menyelesaikan resume ke-20. Informasi positif dan menggembirakan lainnya tentang fasilitas penerbitan buku.

Narsum menyampaikan peserta pelatihan belajar menulis angkatan awal cenderung kesulitan menerbitkan buku karena tidak ada keterlibatan penerbit sebagai narsum. Sekarang permasalahan penerbitan sudah dapat dianulir karena ada ada keterlibatan pihak penerbit indie dalam proses pelatihan. Penerbit memberikan pelayanan kepada penulis untuk menerbitkan buku tanpa proses yang berbelit-belit seperti prosedur yang berlaku pada penerbit mayor. Bagi penulis pemula, penerbit indie merupakan solusi yang tepat untuk menerbitkan buku.

Narsum menunjukkan ciri-ciri penerbit indie kepada peserta. Penerbit tidak melakukan seleksi terhadap naskah yang diterima. Proses penerbitan membutuhkan waktu lebih cepat (1-3 bulan) dengan biaya bervariasi. Jika ingin mencetak ulang penulis harus menanggung sendiri biaya cetak dan ongkos kirim. Pemasaran dilakukan sendiri dengan harga yang juga ditentukan sendiri oleh penulis. Buku tidak dipasarkan di toko buku.

Terkait dengan biaya penerbitan secara mandiri oleh penulis, narsum menyampaikan bahwa hal itu memang konsekuensi penerbitan tanpa seleksi. Artinya, ada harga yang harus dibayar penulis untuk mendapatkan fasilitas penerbitan dari sebuah penerbit indie.

Menurut narsum, penulis harus selektif dalam memilih penertbit. Dengan kata lain diperlukan pertimbangan dalam penggunaan jasa penerbit. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan penerbit indie meliputi, "biaya penerbitan, fasilitas penerbitan, batas maksimal jumlah halaman, ketentuan dan biaya cetak ulang,  ada tidaknya master PDF, lama penerbitan, dan jumlah buku yang didapat penulis"

Sebagai bahan pertimbangan peserta dalam memilih penerbit, narsum merekomendasikan beberapa penerbit rekanannya; Penerbit Depok dan Penerbit Malang.

Dua penerbit yang direkomendasikan narsum memiliki perbedaan. Salah satu penerbit hanya mencetak buku sekali saja. Sedangkan penerbit lainnya memberikan kesempatan penulis untuk mencetak ulang bukunya. Peserta tinggal memilih cetak ulang atau cetak sekali

Jumat, 25 Februari 2022

Rabu, 23 Februari 2022

Penerbit Indie (Pertemuan ke-17)


Waktu terus berlalu. Bumi masih tetap melakukan kerja rotasinya untuk membuat pergantian siang dan malam. Planet paling memungkinkan untuk bertahan hidup bagi segala makhluk fisik ini juga masih konsisten berjalan pada orbitnya melakukan kerja revolusinya. Kerja rotasi dan revolusi itu membuat waktu terus beringsut dan mengantarkan peserta pelatihan belajar menulis asuhan Om Jay sampai pada titik ke-17.

Informasi tentang jadwal pertemuan dalam flyer sudah disebar di WAG sejak pukul 11.26 wita. Wajah Pak Mukminin sekarang lebih jelas. Sejauh ini saya hanya melihat beliau wara-wiri dalam bentuk pesan-pesan tertulis di WAG Belajar Menulis 24 dan beberapa WAG sejenis. Ya. Mukminin, S.,Pd., M.,Pd., narasumber pertemuan ke-17 dengan materi "Mengenal Penerbit Indie". hari Rabu, 23 Februari 2022, didampingi Bu Helwiyah seabagai moderator.

Pukul 18.55 moderator sudah menutup pintu pesan WAG untuk peserta agar kegiatan pelatihan berjalan kondusif. Sebagaimana ritual setiap pelatihan sebelumnya, moderator membuka pelatihan dengan "prosedur standar", mengucap salam, membaca doa, menyampaikan susunan acara, dan memperkenalkan narsum dengan materi pelatihan.

Sebagaimana narsum sebelumnya, narsum kali ini juga bukan narsum "kaleng-kalengan". Membaca curikulum vitae-nya setiap peserta akan memiliki persepsi dan pikiran yang sama bahwa Pak Mukminin jelas memiliki kelayakan tak diragukan untuk menjadi narsum pada belajar menulis ini. Sebagai alumni belajar menulis asuhan Om jay, Cak Inin menjadi salah satu alternatif narasumber yang dipandang mampu untuk memberikan pencerahan pikiran kepada peserta. https://cakinin.blogspot.com/2020/10/curiculum-vitae.html

Sebelum menyampaikan materi, Cak Inin berkisah tentang kronologis perjalanan pena-nya sampai menjadi penulis dan berhasil menerbitkan buku. Salah satu bukunya sudah terjual sampai 500 ekp.

Beliau bertutur bahwa karier menulis mulai dirintisnya pada usia 55 tahun (dua tahun yanga  lalu). Dalam anggapan kebanyakan orang usia tersebut bisa jadi dianggap terlambat. Akan tetapi, tidak bagi Cak Inin. Bagi saya ini sebuah pesan bahwa belajar menulis itu tidak mengenal usia. Belajar itu bukan persoalan umur tetapi terletak pada kemauan (niat), komitmen, dan keseriusan, ketulusan untuk melakukannya. Pesan ini tentu saja dapat menjadi pemantik peserta untuk belajar tanpa patah semangat dan putus asa. Perjalanan menjadi penulis dituangkan Cak Inin dalam blog-nya yang dapat dikunjungi melalui link https://cakinin.blogspot.com/2022/02/usia-56-tahun-aku-berkarya-dan.html.

Buku-buku berikut ini adalah sebagian dari buku karya narsum yang telah dihasilkan selama dua tahun terakhir.


Setelah merasa berhasil membakar motivasi peserta untuk terus menulis, Cak Inin menggoda peserta dengan sebuah pertanyaan sederhana.
"Apa alasan seseorang menulis buku sebutkan 4 saja"

Peserta yang menjawab paling logis akan diberikan hadiah. Pertanyaan dan kompensasi yang ditawarkan narsum tentu saja membuat peserta berebut menjawab pertanyaan tersebut. 

Setelah berhasil menggoda peserta Cak Inin mengajak peserta memasuki materi inti. Cak Inin menulis, 

"Pada zaman melinial ini semua org bisa menulis dan menerbitkan buku. Baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, dosen, maupun wiraswasta. Menulis dan menerbitkan buku itu mudah, tidak serumit yg kita bayangkan. Apalagi sbg seorang guru pasti bisa menulis baik fiksi maupun karya ilmiah. Guru memiliki byk kisah dan pengalaman inspiratif tersebut perlu kita tulis dan terbitkan buku  menjadi yg bermanfaat bg orang lain/ pembaca. 

Uintuk bisa terlatih menulis memang butuh ketekunan dan perjuangan. Selain itu, perlu juga tekad dan motivasi tinggi agar tidak goyah saat menjalani proses menulis.

Berbicara motivasi, ada banyak kata-kata agar kamu terus semangat menulis. Melalui kata-kata mutiara tentang menulis bisa menjadi motivasi agar sukses dalam berkarya."

Pembuka materi yang ditulis Cak Inin di atas merupakan pintu masuk ke dalam kesadaran peserta bahwa perkembangan zaman (teknologi) memberikan peluang yang sangat luas bagi setiap orang untuk menghasilkan tulisan dan menerbitkannya. Dalam konteks pembelajaran, guru sebagai profesi yang secara langsung bersentuhan dengan proses pembelajaran memilki banyak kisah dan pengalaman inspiratif yang dapat dituangkan secara tertulis. Tulisan yang disusun dengan baik, menarik, dan sesuai standar penulisan dapat diterbitkan menjadi buku. Keberahsilan membuat tulisan tentu saja harus ditopang oleh ketekunan, motivasi, dan tekad yang kuat.

Kata-kata adalah pembakar semangat. Kata-kata adalah struktur logika yang dapat dijadikan sebagai landasan kuat untuk berbuat sesuatu. Cak Inin tidak lupa membumbui materinya denga kata-kata mutiara.

Pada materi inti, Cak Inin menyampaikan "Tahapan Cara Menulis dan Menerbitkan Buku yang Tepat". Menurutnya, tahapan awal menulis adalah prawriting. Tahapan ini merupakan proses mencari ide. Penulis dalam hal ini harus memiliki kepekaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang ditemukan di lingkungan sekitar. ( Pay attention). Ada keterlibatan unsur kreativitas dalam menangkap fenomena yg terjadi di sekitar untuk menjadi tulisan. Hal paling utama dari tahapan ini adalah banyak membaca buku.

tahapan berikutnya adalah drafting. Pada tahap ini penulis mulai membuat draf (outline buku/daftar isi buku). Berdasarkan draft tersebut penulis kemudian mengembangkan gagasannya sampai menjadi sebuah buku. 

Menurut Cak Inin, menulis memiliki kebebasan untuk menulis sesuai dengan pasion (hal yang disukai). Seseorang dapat membuat tulisan dalam bentuk artikel, cerpen, puisi, novel dan sebagainya. Dalam membuat sebuah tulisan, seseorang harus mengerahkan daya kreatifnya dalam merangkai kata, menggunakan majas, dan berekpresi untuk menarik pembaca. Ini berarti bahwa kemampuan imaginasi sangat dibutuhkan penulis dalam meramu tulisan agar menjadi sesuatu yang menarik. 

Kemampuan imaginasi adalah daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang secara umum. https://bit.ly/3BGVhLb

Pengertian imaginasi di atas mengandaikan bahwa ada keterlibatan logika dalam setiap aktivitas mental. Imaginasi bukan semata tentang khayalan tetapi juga menyangkut kemampuan berfikir untuk menata kalimat sehingga menghasilkan tulisan yang membuat betah pembaca.

Tahap berikutnya adalah revisiSetelah naskah selesai ditulis tahapan yang tidak dapat diabaikan adalah revisi naskah. Dalam proses revisi penulis dapat mempertahankan unsur tulisan yang baik, membuang unsur yang tidak relevan, serta menambahkan unsur yang dinilai masih kurang. Proses ini, jika dikaitkan dengan materi sebelumnya, mirip dengan proses proofreading.

Jika revisi telah selesai, penulis dapat melanjutkan ke tahap editting/swasunting. Pada tahap ini, penulis melakukan penyuntingan yang meliputi perbaikan kesalahan tanda baca, kesalahan pada kalimat. Tahap ini disebut juga sebagai "swasunting" yaitu menyunting tulisan sendiri sebelum masuk penerbit. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi kesalahan dalam penulisan. Dalam proses ini, dibutuhkan kemampuan bahasa Indonesia yang baik dan benar seorang penulis yang sesuai denga EBBI.

Materi selanjutnya dari narsum adalah materi inti dari pelatihan, yaitu tentang penerbit. Dalam penjelasannya, Cak Inin membuat dikotomi penerbit menjadi penerbit mayor dan penerbit indie. Perbedaan ke dua penerbit tersebut dipetakan berdasarkan beberapa hal, yaitu, 

1) berdasarkan jumlah buku yang dicetak
Pada penerbit mayor buku yang dicetak berkisar antara 1000 sampai 3000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku. Sedangkan penerbit indie hanya mencetak berdasarkan pesanan yang didistribusikan melalui media online.

2) Pemilihan Naskah yang Diterbitkan
Pada penerbit mayor naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum diterbitkan apalagi penerbitannya dilakukan secara masal hingga 1000 - 3000 eksemplar. Penerbit harus  hati-hati dalam memilih naskah yang akan dicetak atau diterbitkan. Penerbit bagaimanapun juga memiliki target berupa keuntungan sehingga tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Dalam menerbitkan sebuah naskah penerbit memiliki persyaratan yang sangat ketat. Penerbit harus melakukan survey tentang selera pasardan kemungkinan tingkat penolakan.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie tidak terlalu mempersoalkan hal-hal di atas. Penerbit indie akan menerbitkan sebuah karya yang layak diterbitkan dengan catatan, tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, Hal ini menjadi alternatif baru bagi para penulis untuk membukukan tulisannya.

3) Profesionalitas
Pada penerbit mayor unsur profesional sangat diutamakan. Hal ini karena penerbit mayor memiliki dukungan kapital dan sumber daya pada perusahaan.

Penerbit indie juga sangat mengutamakan profesionalisme. Hanya saja ada semacam opini yang berkembang bahwa penerbit indie cenderung asal-asalan; asal cetak-jadi-jual. Beberapa penerbit indie memang cenderung kurang profesional. Penerbit menawarkan biaya murah tetapi kualitas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Banyak penerbit indie juga kurang memperhatikan mutu dan manajemen pemasaran buku. Hal ini bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Hal-hal seperti cover kurang bagus, atau kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper (kertas coklat halus). Untuk itu penting bagi penulis untuk memilih penerbit indie yang memiliki managemen penerbitan yang baik.

4) Waktu Penerbitan
Pada penerbit mayor, umumnya sebuah naskah membutuhkan waktu 1-3 bulan untuk memberikan konfirmasi kepada penulis. Andaipun diterima penerbitan naskah harus mengalami anttrean panjang sehingga proses penerbitan bisa meunggu bertahun-tahun. Hal ini dapat dipahami karena penerbit mayor sebagai sebuah penerbit besar memiliki standar prosedur yang ketat, panjang, dan berbelit-belit. Pasca penerbitan juga memerlukan proses terutama pada tahap penjualan atau distribusi. Apabila dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.

Berbeda dengan penerbit mayor, penerbit indie cenderung lebih cepat memproses naskah yang diterima, bahkan dalam hitungan minggu sudah dapat diterbitkan. Penerbit indie cenderung mengabaikan selera pasar. Perusahaan akan menerbitkan karya diyakini karya terbaik oleh penulisnya dan layak diterbitkan. Perusahaan tidak tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

5.  Royalti
Penerbit mayor, dalam hal royalti, kebanyakan mengambil royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku. Sedangkan pada penerbit indie royalti umumnya berkisar antara 15-20% dari harga buku.

6) Biaya penerbitan
Biaya penerbitan pada penerbit mayor biasanya gratis. Hal ini menyebabkan penerbit tidak dapat secara langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Penerbit memiliki banyak pertimbangan lain, salah satunya, selera pasar.  

Berbeda dengan penerbit indie, penulis harus memiliki kontribusi atau membayar kepada penerbit. Biaya penerbitan pada setiap penerbit indie tidak sama. Ini sangat tergantung pada pelayanan dan mutu buku yangg diterbitkan.

Perbedaan penerbit yang dipaparkan Cak Inin cukup jelas. Bagi penulis pemula, alternatif penerbit yang dapat dijadikan solusi adalah penerbit indie. Berbeda dengan penulis yang telah memiliki nama besar. Karya penulis pemula dan penulis profesional tentu saja akan ditempatkan pada posisi yang berbeda, baik oleh penerbit maupun masyarakat pembaca. 

Perbedaan di atas tentu saja tidak membuat penulis pemula atau penulis yang masih berada pada tahap belajar akan menganggapnya sebagai tantangan berat. Hal penting dari proses menulis sebagaimana disampaikan oleh semua narsum adalah kemauan, komitmen, keseriusan, dan optimisme untuk menghasilkan tulisan demi tulisan. Analoginya, seorang atlet parkour tidak mungkin tiba-tiba mampu melompat dari satu ketinggian ke ketinggian lainnya tanpa pernah mengalami proses latihan. Mereka pasti pernah gagal dan cidera. Menulispun demikian.

Rabu, 23 Februari 2022

Senin, 21 Februari 2022

Menyusun Buku secara Sistematis (Pertemuan ke-16 BM Gelombang 23-24)

 


Lagi-lagi kendala signal. Saya baru dapat mengaksese jaringan sekitar pukul 20.00 wita. Ada satu kebiasaan baru dalam diri saya. Sejak ikut belajar menulis saya mulai suka menghitung hari, Senin, Rabu, dan Jumat. Ini hari-hari "mulia" bagi saya dalam kegiatan belajar menulis.

Ini hari Senin, 21 Februari 2022, pelatihan belajar menulis telah sampai pada pertemuan ke-16. Pada kesempatan ini, Pak Muliadi, kembali ditugaskan memoderasi jalannya pelatihan. Mengawali pertemuan ke-16, moderator memperkenalkan narasumber. Yulius Roma Patandean, S.Pd, demikian nama sosok yang diberikan mandat berbagi ilmu menulis kepada peserta. Narsum seorang guru tetapi bukan guru biasa. Narsum yang mendedikasikan diri di SMAN 5 Tator disebut-sebut sebagai penulis yang cukup produktif sekaligus editor profesional. Pria kelahiran Salubarani, Tana Toraja, 6 Juli 1984 itu telah berhasil menerbitkan sejumlah besar buku di bawah penerbit bergengsi.

Narsum mulai menjalankan perannya setelah moderator mempersilakannya mengambilalih kegiatan. Sebuah paragraf dalam foto selfie narsum menjelaskan tentang perjalanan seharian ke sebuah sekolah pelosok di daerahnya. Perjalanan melelahkan itu tentu melelahkan tetapi rasa lelah itu luluh dalam semangat berbagi di ruang belajar menulisgelombang 23-24.


Saya harus mengakui bahwa saya dan peserta lainnya tidak salah masuk grup belajar menulis. Ternyata kelas ini telah banyak menghasilkan penulis profesional. Narsum malam ini juga salah seorang alumni belajar menulis asuhan Om Jay.

Tuan dan Nyonya yang membutuhkan profil lengkap narsum silakan siapkan sedikit kuota untuk berkunjung ke https://romadean.blogspot.com/2021/01/profil.html

Sesuai dengan topik "Langkah Menyusun Buku Secara Sistematis", narsum berharap besar dan yakin bahwa peserta telah memiliki bakat dan kemampuan sendiri dalam melakukan editing terhadap naskah tulisan untuk kemudian diusulkan kepada penerbit. 

Dalam menyelesaikan tulisannya, narsum menggunakan prinsip CLBK. Prinsip ini tentu terkesan aneh karena lebih dikenal sebagai singkatan dari Cinta Lama Bersemi Kembali, sebuah rasa yang tumbuh kembali ketika sepasang kekasih pernah terikat hubungan asmara di masa lalu. CLBK dalam gagasan narsum tentu saja bukan dalam konteks asmara tetapi dalam persepektif menulis. Istilah tersebut dijabarkan narsum dalam deskripsi sebagai berikut.

COBA-lah untuk menulis. Upaya mencoba menulis akan menumbuhkan rasa penasaran yang dapat menyulut rasa ingin tahu dan berbuat lebih dalam menulis. Saat ingin tahu itu tumbuh segera LAKUKAN. Menulislah. Ikuti setiap ide itu dalam bentuk tulisan. Selama ide itu mengalir jangan berhenti hingga ujung jalan. Dorongan untuk menulis itu penting tetapi menghapus rasa penasaran dalam pikiran itu jauh lebih penting. Rasa penasaran itu tentu saja tentang tulisan.

Jika rasa penasaran telah terjawab, fase selanjutnya adalah BUDAYAKAN. Jadikan menulis sebagai bagian dari keseharian, sebagai sebuah kebiasaan. Jadikan menulis sebagai sebuah budaya, sebuah kebiasaan koletif dalam sebuah komunitas. 

Jika budaya diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke generasi https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Pengertian maka budaya menulis dapat diartikan sebagai kebiasaan menulis yang dilakukan sekelompok orang. Paling tidak dalam komunitas belajar yang diasuh Om Jay telah memperlihatkan nuansa ke arah budaya menulis. Jika budaya menulis telah terbangun, hal penting lainnya adalah KONSISTEN. Menanamkan sikap konsisten merupakan upaya terberat dalam kehidupan pribadi maupun kelompok, Konsistensi sering mengalami kerapuhan dalam sebuah bangunan budaya paling mapan sekalipun. Konsistensi yang sering menimbulkan kerapuhan biasanya diawali dari inkonsistensi individual yang dapat menjalari sebuah sistem budaya yang telah terbentuk.

Dari materi tentang prinsip menulis, narsum kemudian mengajak peserta untuk memasuki materi yang menyangkut teknis penulisan yang mencakup cara memasukkan daftar isi, kutipan, indeks, dan daftar pustaka secara otomatis. Dengan kemajuan teknologi digital peserta dapat mengakses materi melalui link https://youtu.be/eePQwyHAcjw dan https://youtu.be/jXPr59aWJSc.

Bagian akhir dari pertemuan adalah tanya jawab. Pertanyaan itu secara garis besar menyangkut hal-hal prinsip dan cara pandang terhadap dunia menulis seperti, konsistensi, motivasi, membangun minat, dan prinsip-prinsip semacamnya. Pertanyaan lainnya menyangkut tentang hal-hal teknis yang berhubungan dengan langkah sistematis dalam menulis, trik memilih judul atau subjudul, dan hal-hal lain yang bersifat sejenis.

Senin, 21 Februari 2022



Jumat, 18 Februari 2022

Buku Nonfiksi (Pertemuan ke-15)

 



Pak Dail Ma'ruf, sebagai moderator, telah membuka kegiatan pelatihan melalui pesan suara pada pertemuan ke-15 saat saya mulai bergabung. Masih melalui pesan suara, moderator mempermaklumkan kepada peserta bahwa kegiatan dibagi menjadi 2 sesi, penyampaian materi dan tanya jawab.

CV narsum merupakan bagian penting dari pelatihan agar peserta lebih mengenalnya. Musiin, M.Pd adalah nara sumber pada pertemuan ke-15 ini. Beliau didapuk untuk menyampaikan materi dengan topik "Konsep Buku NonFiksi". Berdasarkan CV-nya, narsum tidak saja seorang guru tetapi juga pegiat sosial, ekonomi, literasi, dan wirausahawati. Beliau mewakafkan banyak hal untuk kemaslahatan bersama. Hal ini bagi saya merupakan sesuatu yang luar biasa,

Rupanya Bu Iin juga alumni kelas menulis asuhan Om Jay. Beberapa bukunya sudah terpajang di toko-toko buku. Narsum mengakui bahwa sebelum mengikuti kelas menulis ini, ada semacam phobia menulis yang selalu mengungkung potensinya. Berkat narsum yang luar biasa dan peserta yang saling memberikan semangat akhir Bu Iin bersama peserta lain angkatan 8 belajar berhasil menerbitkan buku.

Berdasarkan pengalaman pribadinya Bu Iin menjelaskan bahwa dalam menulis itu ada ketakutan; takut tidak ada pembaca, takut menuangkan pendapat atau ide dalam tulisan, dan takut karyanya tidak berkualitas jika disandingkan dengan karya orang lain. Ketakutan-ketakutan itu melahirkan sikap konyol dengan hanya duduk termangu di depan laptop tanpa menghasilkan tulisan.

Perubahan sikap itu dimulai ketika narsum masuk kelas menulis Om Jay dengan sejumlah nara sumber yang luar biasa. Ketakutan yang selama ini membuat penanya tidak berjalan berubah menjadi sebuah energi yang penuh keberanian untuk menuangkan setiap idenya secara tertulis.

Narsum sempat mengajak peserta untuk memahami sekilas sebuah buku karya Dan Poynter, judulnya Is There A Book Inside You. Bu Iin mengutip,

"Setiap orang memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan di dalam dirinya. Berapa ratus purnama telah kita lalui, berapa banyak kejadian entah itu pahit atau manis  mengukir perjalanan  hidup kita. Jadi,  semua tergantung pada individu masing-masing apakah mau dikeluarkan dalam bentuk buku atau tidak. 
Atau hanya dikeluarkan dalam bentuk pengajaran di kelas-kelas saja atau hanya dalam bentuk obrolan atau cerita kepada anak cucu saja, yang tidak meninggalkan jejak keabadian."

Tanpa bermaksud mengerdilkan semangat peserta, Bu Iin menyampaikan bahwa menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang dianggap paling sulit. Diperlukan komitmen berlatih untuk sampai pada perspektif bahwa menulis itu indah. Diperlukan keseriusan dan kontunuitas belajar dari waktu ke waktu untuk sampai pada mental CINTA MENULIS.

Harus ada alasan yang kuat dan benar-benar menjadi motivasi seseorang untuk menulis. Narsum sendiri memilih menulis dengan alasan ingin mewariskan ilmu lewat buku, sekaligus ingin punya buku karya sendiri yang bisa terpajang di toko buku online maupun offline, dan mengembangkan profesi sebagai guru.

Kembali narsum mengutip pernyataan penulis terkenal Pramudya Ananta Toer.

Narsum menjelaskan bahwa kekuatan seseorang salah satunya terletak pada komunikasinya. Saya teringat pada Bung Karno yang konon mampu menyedot perhatian massa dengan gaya komunikasinya di atas panggung. Saya juga terkenang dengan Zainunddin MZ, Kiai Sejuta Umat, yang selalu memukau audiens melalui gaya ceramahnya yang lantang dan selipan humor.

Narsum menegaskan bahwa menulis merupakan salah satu pilihan bagi seseorang yang ingin meninggalkan jejak kehidupan. Seseorang bisa saja dikenang karena keturunannya tetapi dikenang karena menghasilkan karya jauh lebih bermartabat.

Modal kuat seorang penulis, menurut narsum, adalah keinginan kuat. Makin kuat keinginan untuk meraih sesuatu makin besar kemungkinan tangan mampu meraih keinginan tersebut. Akan tetapi tentu saja keinginan tersebut harus didukung dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.

Narsum kemudian membawa peserta masuk ke materi utama, buku nonfiksi. Ada 3 pola penulisan buku nonfiksi yakni, 
1) Pola Hierarkis (Buku disusun berdasarkan tahapan dari mudah ke sulit atau dari sederhana ke rumit), contohnya, buku pelajaran
2) Pola Prosedural yaitu Buku disusun berdasarkan urutan proses, contohnya, buku panduan.
3) Pola Klaster (Buku disusun secara poin per poin atau butir per butir. Pola ini diterapkan  pada buku-buku kumpulan tulisan atau kumpulan bab yang dalam hal ini antarbab setara)

Salah satu buku karya Bu Iin adalah "Literasi Digital Nusantara". Penulisan buku ini menggunakan pola ketiga atau pola klaster. Proses penulisan buku ini terdiri dari 5 langkah, yakni, pratulis, menulis draf, merevisi draf, menyunting naskah, dan menerbitkan. 

Tema besar buku ini adalah pendidikan. Sumber idenya "...berasal dari berita di media massa,  mengamati lingkungan serta diperkuat dari materi di Prof EKOJI Channel dengan judul Digital Mindset (The Key to Transform Your Organization) yang tayang pada tanggal 20 Maret 2020". Narsum mengaku bahwa referensi buku "Literasi Digital Nusantara" berasal dari data dan fakta yang diperolehnya dari literasi di internet.

Tahap selanjutnya adalah membuat kerangka. Kerangka itu kemudian dikembangkan menjadi tulisan utuh atau berdasarkan kerangka itulah proses penulisan dilanjutkan. Sebagai panduan Bu Iin mengikuti nasihat dari Pak Yulius Roma Patandean, salah seorang alumni belajar menulis. Panduan itu dapat dibuka pada link https://www.youtube.com/watch?v=eePQwyHAcjw&feature=youtu.be

Satu demi satu tahapan menulis itu dijelaskan narsum dengan runtut. Walupun demikian dalam proses penulisan itu tentu saja ada aral. Hal-hal yang menghambat narsum dalam penulisan buku tersebut menyangkut hambatan waktu, hambatan kreativitas, hambatan teknis, hambatan tujuan, dan hambatan psikologis.

Hambatan-hambatan tersebut diatasi dengan banyak membaca, mencari inspirasi di lingkungan sekitar, orang sekitar atau terkait dengan nara sumber, disiplin menulis setiap hari, atau pergi ke pasar dan memasak (untuk ibu-ibu).

Rabu, 16 Februari 2022

Menulis Buku Perpusnas (Pertemuan ke-14)

 


Tidak seperti kemarin, sore tadi cuaca bersahabat. Dari atas gerak maju kuda besi tua yang terguncang-guncang pada permukaan aspal yang mulai koyak, bersama si kecil Bungsu, saya menikmati hamparan hijau persawahan dalam sapuan lembut tiupan angin. Tipis awan putih terserak memahat angkasa raya. Segala rasa tentang keagungan sang Khaliq terbang melesat di bawah lengkung langit yang cerah. Secerah senyum Nara sumber, Dr. Mudafiatun Isriyah, dan Moderatur, Widya Setyaningsih yang terpampang pada flyer informasi pertemuan ke-14 malam ini. Ada kesan optimisme menjulang pada senyum itu.

Cerah masih bertahan hingga malam. Sebagaimana ritual pertemuan sebelumnya, moderatur, setelah mengunci WAG agar peserta fokus pada proses pelatihan, Moderator membuka kegiatan dengan memberikan informasi tentang susunan acara dan profil narsum. 

Adalah Ibu Dr. Mudafiatun Isriyah, seorang dosen dan penulis terbaik Perpusnas. Membaca CV-nya diperlukan kekuatan kognisi untuk mengingat bentang panjang perjalanan karier dan prestasi narsum. CV-nya sudah menimbun keraguan peserta jauh ke dalam bumi paling inti tentang kepakarannya dalam dunia literasi.

Setelah moderator memberikan kesempatan untuk menyampaikan materi, narsum menawarkan judul "Menulis itu Indah" pada pelatihan ke-14. Saya menduga narsum mencoba menjinakkan peserta dengan judul itu. Barangkali beliau berasumsi bahwa judul "Menulis Buku Terbaik Perpusnas" memuat beban psikologis pada peserta. Adanya diksi Purpusnas dapat membuat gagap karena ada semacam tantangan berat untuk menghasilkan tulisan yang dapat ditampung lembaga literasi paling bergengsi di negeri ini. Dengan judul "Menulis itu Indah" bisa jadi beliau ingin meringankan beban psikologis itu. Sekali lagi ini hanya dugaan saya.

Narsum memulai masuk ke materi dengan kalimat,
"menulis merupakan salah satu kegiatan berbahasa, tetapi tidak
semua orang terampil berbahasa dapat menulis dengan baik. Menulis
memang tidak mudah, tetapi jangan Anda bayangkan bahwa menulis adalah
kegiatan yang sangat sulit dan jangan pula Anda pernah berpendapat bahwa
menulis sangat erat kaitannya dengan bakat."

Saat belajar bahasa waktu kuliah dulu saya juga mendapati pengertian yang sama dengan konsep yang disampaikan narsum. Menulis merupakan salah satu dari 4 (empat) kegiatan berbahasa setelah mendengar, berbicara, dan membaca. Dalam batasan tertentu menulis memiliki kesejajaran dengan berbicara. Keduanya sama-sama menyampaikan informasi. 

Hanya saja kegiatan menulis dianggap sebagai kegiatan yang lebih berat dan lebih sulit tinimbang berbicara. Semua orang bisa menuangkan ide secara lisan tetapi tidak semua orang mampu menyampaikan infromasi secara tertulis dengan baik. Di samping itu, perbedaan keduanya terletak pada perbedaan fase pemelorehan. Jika berbicara mulai dilatih sejak seseorang dilahirkan, menulis mulai dialami seseorang biasanya ketika memasuki bangku sekolah.

Guru sebagai agen paling utama dalam pembelajaran, menurut narsum, mau tidak mau secara nsicaya harus memiliki kemampuan menulis. Tulisan itu paling tidak sebuah karangan pendek. Lagi-lagi saya harus mengamini narsum. Menulis sebagai keterampilan yang harus dikembangkan sejak dini, Seyogyanya keterampilan menulis harus dikuasai guru sebagai keterampilan yang harus diajarkan kepada siswa. Bagaimana mungkin pembelajaran menulis dapat berlangsung jikalau guru tidak memiliki kompetensi berbahasa itu?

Rupanya narsum benar-benar hendak menguji kesesriusan peserta dalam belajar menulis. Beliau memberikan tantangan menulis dengan menjawab pertanyaan tentang konsep menulis dan beberapa aspek yang berhubungan dengannya. 

Pertanyaan itu adalah, 1) menjelaskan pengertian menulis; 2) menguraikan manfaat menulis; 3) mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keengganan seseorang dalam menulis; 4) menerangkan mitos-mitos dalam menulis, 5) menemukan hubungan menulis dengan berbagai aspek keterampilan berbahasa lainnya; 6) menjelaskan pengertian menulis sebagai proses; serta 7) menjabarkan setiap fase dalam proses menulis.

Untuk pertanyaan ke-1, dalam pemahaman saya menulis merupakan upaya menyampaikan informasi kepada orang lain dengan menggunakan lambang bahasa. Kegiatan menulis dapat juga diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide atau gagasan secara tertulis. Ide atau gagasan itu bisa berupa pikiran, perasaaan, atau pengalaman hidup sehari-hari.

Lalu apa manfaat menulis? (pertanyaan ke-2). Untuk menjawab pertanyaan ini jawaban setiap orang akan sangat beragam. Jika Tuan dan Nyonya melakukan googling, akan ditemukan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan, 6, manfaat, 7 manfaat, 10, manfaat, bahkan 11  manfaat. Akan tetapi kesluruhan jawaban itu dapat dipadatkan dalam beberapa manfaat sebagai berikut.

Pertama. Meningkatkan Kreativitas dan kemampuan imaginer. Menulis akan membuat seseorang melakukan petualangan intelektual dan perasaan untuk mengolah kemampuan berfikir yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Tidaklah salah jika dalam ilmu linguistik, kegiatan berbahasa disejajarkan dengan kegiatan berfikir.

Pertanyaan ke-3, tentang faktor keengganan seseorang untuk menulis. Rasa malas merupakan faktor utama. Jika seseorang sudah dibelit kemalasan, jangankan menulis beringsut dari tempat duduk saja sulit. Faktor lainnya tidak memiliki ide tetapi hambatan ini cenderung salah karena ide menulis itu ada di mana-mana. Ada juga yang beralasan tidak punya waktu. Penulis-penulis besar, seperti Buya Hamka atau Mochtar Kusumaatmadja merupakan orang-orang yang sangat sibuk dibanding peserta di ruang BM 24. Akan tetapi mereka memiliki waktu senggang untuk menuangkan ide, pikiran, dan perasaan mereka secara tertulis. Hambatan lainnya adalah tidak menguasai topik. Ini sesungguhnya berawal dari kemalasan pikiran untuk membaca fenomena lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya sehingga mengalami kebingungan untuk menulis harus bermula dari titik yang mana.

Ada mitos dalam menulis (pertanyaan ke-4). Mitos paling banyak berkembang adalah bakat. Seseorang dianggap dapat menulis karena memang sudah menjadi bakat sejak kecil. Padahal setiap orang memiliki potensi yang sama. 

Mitos lainya, penulis harus menunggu inspirasi untuk bisa menulis dengan baik. Dia harus menyepi atau menunggu ilham. Padahal menurut, Narsum sebelumnya, segala sesuatu dapat dijadikan obyek tulisan. Menulis sebagai sesuatu yang berat juga termasuk mitos. Inilah beberapa mitos yang dapat saya uraikan.

Pertanyaan ke-5. Hubungan menulis dengan berbagai aspek keterampilan berbahasa lainnya. Menulis dan membaca memang dua keterampilan yang berada pada ranah yang berbeda. Menulis meurpakan kegiatan menyampaikan infromasi sedangkan membaca merupakan kegiatan menerima informasi. Akan tetapi, kedua ketrampilan itu jelas memiliki hubungan tak terpisahkan. Seseorang dapat menguasai keterampilan menulis apabila memiliki kemampuan membaca. Membaca adalah upaya memahami lambang bahasa yang tertera dalam tulisan. Oleh karena itu diperlukan keterampilan menangkap makna lambang itu untuk dituangkan lagi dalam bentuk lambang atau dalam bentuk tulisan.

Hubungan menulis dengan berbicara juga sangat jelas. Dengan mengabaikan faktor kelainan berupa tuna wicara, kemampuan menulis juga berhubungan erat dengan berbicara. Ketika berhadapan dengan pembaca malas, penulis harus mengkomunikasikan isi tulisannya secara lisan.

Hubungan menulis dan mendengar juga tidak terpisahkan. Seorang penulis harus memiliki kemampuan mendengar (baca: memahami) informasi dari nara sumber sebagai informan tertentu. Penulis harus melakukan wawancara dan dialog untuk mendapatkan informasi dengan orang lain sebelum infromasi itu dituangkan dalam tulisan. Disinilah hubungan menulis dan mendengar menjadi dua kegiatan yang berkaitan.

Pertanyaan ke-6, menjelaskan pengertian menulis sebagai proses. Pada paragraf sebelumnya dalam tulisan ini, keterampilan menulis seringkali disejajarkan dengan kemampuan berfikir. Ketika seseorang menuangkan ide secara tertulis, keterlibatan paling mendasar adalah pikiran atau proses berfikir. Sebuah tulisan tidak saja bersumber dari pengamatan atau pengalaman sehari-hari tetapi juga merupakan hasil dari proses permenungan, proses kontemplasi yang melibatkan proses berfikir dalam mengorganisir hasil pengalaman itu.

Pertanyaan ke-7, menjabarkan setiap fase dalam proses menulis. Fase awal dalam menulis adalah prapenulisn. Pada fasei ini, penulis mulai dengan menentukan ide atau gagasan besarnya. Misalnya, tentang Covid-19. Seorang penulis yang berlatarbelakang pendidik tentu akan membawa ide covid-19 itu ke dalam sebuah topik yang berhubungan dengan pembelajaran. Selanjutnya penulis melakukan penentuan sasaran pembaca. Lalu diikuti dengan pengumpulan informasi yang akan dijadikan sumber tulisan. Penulis kemudian mengorganisasikan infromasi tersebut. Dapat juga melakukan design atau membuat rancangan atau kerangka tulisan.

Fase penulisan adalah fase berikutnya. Pada fase ini penulis menentukan seberapa luas dan dalam cakupan tulisan yang akan dibuat. Penulis melakukan pengembangan ide berdasarkan infromasi yang telah berhasil dikumpulkan pada tahap prapenulisan. Di sinilah proses berfikir itu berkerja dengan maksimal.

Fase pascapenulisan. Jika tulisan telah selesai penulis memasuki fase terakhir yaitu pascapenulisan. Pada langkah ini, penulis melakukan penyempurnaan tulisan yang terkait dengan ejaan, tanda baca, dan perbaikan salah ketik. Pada tahap ini penulis melakukan penyuntingan dan proofreading sebagaimana telah dijelaskan pada pertemuan sebelumnya.

Rabu, 26 Februari 2021

Referensi : 12

Penilaian Pembelajaran; Perdebatan yang Tak Pernah Usai

Dokpri Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda ...