Pertemuan ke-22 belajar menulis PGRI seperti menyaksikan kisah dongeng. Alur ceritanya penuh dengan keajaiban. Saya dan semua peserta seolah berada dalam sebuah pentas teater dengan tokoh berjiwa pejuang, pantang menyerah, tidak tunduk belaka terhadap kegetiran yang dihadapinya.
Tema pelatihan sekilas terlihat ringan, seringan sakit kepala karena terlambat minum kopi. Saya membayangkan kata sakit yang disematkan pada tema pelatihan ini hanya sekitar flu, sakit gigi, atau meriang. Ternyata dugaan saya mengalami distorsi, perkiraan saya tidak seperti yang saya pikirkan.
Setelah Pak Dail Maruf, moderator kegiatan pelatihan, memberikan memberikan kesempatan kepada Pak Suharto untuk berbagi pengalamannya dengan membeberkan perjalanan hidupnya yang luar biasa.
Suharto, M.Pd, nama lengkap narsum, jika digambarkan sebagai tokoh utama dalam sebuah prosa fiksi adalah tokoh "antagonis". Dalam pengertian konvensional, tokoh antagonis dimaknai sebagai tokoh jahat dalam sebuah cerita. Akan tetapi, dalam konteks kajian fiksi, Nurgiyantoro mendeffinisikan tokoh antagonis sebagai tokoh yang memiliki karakter penantang terhadap sebuah situasi yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya. Tokoh antagonis dengan demikian tidak selalu dapat dimaknai sebagai tokoh jahat tetapi juga dapat diandaikan sebagai tokoh baik. Sang penantang adalah sang pemberontak yang bisa jadi juga seorang pejuang yang berusaha mengubah kondisi kehidupan diri dan orang lain ke arah yang lebih baik.
Saya melihat sisi antagonis dari kisah hidup Cang Ato. Dalam kondisi fisik dalam ketidakberdayaan, Cang Ato tetap memiliki kekuatan menantang kegetiran hidup yang menderanya. Ini sesuatu yang luar biasa. Cang Ato mampu menantang dan mengalahkan rasa sakit dengan cara yang sangat elegan. Menulis. Suatu kisah langka ditemukan dalam realitas sehari-hari. Butuh kekuatan dan semangat hidup membaja untuk melewati jalan hidup seperti yang dilalui Cang Ato. Sebagai seorang ayah, dalam ketidakberdayaan sekalipun, beliau menyadari tanggung jawabnya sebagai pemimpin keluarga. Beliau tetap berfikir memiliki tanggung jawab menafkahi keluarganya.
Kisah Cang Ato kalau boleh dapat dihubungkan dengan sebuah judul novel klasik mahakarya Sutan Sati "Sengsara Membawa Nikmat". Kesengsaraan dalam rundungan rasa perih, kelumpuhan, dan kepedihan fisik maupun mental tidak membuatnya putus asa. Dengan mengandalkan gerakan lemah jemarinya beliau terus menuangkan pengalaman hidupnya, menyusun kisahnya sendiri, tanpa peduli kisahnya dibaca orang atau tidak. Semua itu dilakukannya sebagai media atau alat pengubur setiap inchi rasa sakit yang dideritanya. Menulis, bagi Cang Ato, merupakan peredam rasa sakit, pengalih kesadaran dari harapan sia-sia untuk sembuh, dan penutup luka dalam yang terus menganga dalam waktu yang lama.
Apa yang dilakukan Cang Ato di luar dugaannya. Perjalanan hidupnya mampu "menawan" perasaan peserta dan bisa jadi semua orang yang mendengarnya, Kisah hidupnya mendapat simpati dan empati dari banyak orang. Beliau mendapati dirinya dalam kerumunan orang-orang yang memberikan semangat hidup. Kisah hidupnya kemudian berhasil diterbutkan menjadi buku.
Cang Ato telah mengisnpirasi banyak orang bahwa hal paling penting dari hidup ini adalah kesabaran, semangat juang, dan kesadaran bahwa hidup ini dinamis. Pernyataan paling klasik adalah "roda terus berputar".
Selasa, 08 Maret 2022
Top bgt resumenya Pak Yamin
BalasHapusTop markotop pak
BalasHapusBukan sekdar menwan, simpati dan empati, termotivasi, inspirasi, terharu penuh pilu
BalasHapus🎖️🎖️🎖️🎖️🎖️
BalasHapusRacun kali ini, mampu."menawan" hhmmm...berasa lezat banget resumenya dan pemaparan antagonis dalam perspektif yang berbeda...renyah banget dan bernutrisi tinggi, hebat Pak.
BalasHapusPelajaran penting tentang mengelola gagasan dari sudut pandang yang berbeda. Mantul pak Yamin..
BalasHapus