Rendah Hadi namanya. Dalam keseharian dia mengidentifikasi diri sebagai "Rendy". Dia merupakan salah seorang peserta bimtek penggunaan dan pemanfaatan TIK SD tahap 12 regional Denpasar yang penyelenggaraannya 25-28 November 2021, di hotel Prime Sanur Bali. Pria agak berewok dengan bulu hidung lumayan lebat ini, mengajar di SDN 6 Sesait dengan status guru honorer, peserta Diklat satu-satunya dari Kabupaten Lombok Utara.
Sekolah tempat Rendy mengajar merupakan salah satu dari sejumlah besar bangunan yang ikut diluluhlantakkan oleh gempa dahsyat yang mengguncang Pulau Lombok tahun 2018. Akibatnya, Pemerintah Daerah NTB harus mengucurkan dana tidak sedikit untuk menanggulangi bencana dan pemulihan berbagai sarana publik. Anggaran pemerintah daerah yang terbatas membuat sekolah Rendy tidak tersentuh rehabilitasi dalam waktu yang cukup lama sementara siswa membutuhkan ruang kelas untuk belajar.
Ide cemerlang Rendy muncul saat melihat dua orang siswa yang mengenakan seragam santai tengah bermain di atas puing bangunan sekolah. Rendy mengambil smartphone dan memotret mereka. Foto itu kemudian diunggah di blog sekolah dengan sedikit narasi. Unggahannya kemudian tersebar ke berbagai daerah dan mendapatkan tanggapan cepat dari pemerintah daerah Jawa Tengah. tidak tanggung-tanggung sekolahnya mendapatkan dana pemulihan sampai 7 Milyar. Sayang bencana gempa Donggala menyusul dan sebagian dana itu kemudian disalurkan ke lokasi gempa. Pihak sekolah juga setuju karena mereka merasakan kepedihan, trauma, dan kegetiran mendalam akibat gempa.
Rendy mengaku pertama kali keluar daerah. Dengan dana 700 rb dari sekolah Rendy mencoba memesan tiket penerbangan Lombok - Denpasar senilai 500 rb. Dalam waktu yang mepet, konon seorang teman siap membantu tetapi sayang bantuan itu gagal karena tiketnya sudah habis.
Rendy bingung. Dia sendiri tidak tahu harus ke mana. Denpasar adalah makhluk asing, sosok dalam dongeng yang pernah hanya didengarnya dalam legenda dan cerita dari mulut ke mulut.
"Sampai di Padang Bae saya harus ke mana?" tanyanya kepada seorang teman sebelum berangkat.
"Naik bis atau taksi dan diturunkan di jalan by pass. Bisa juga numpang dump yang membawa barang ke Denpasar. Biayanya lebih murah. Kalau beruntung bisa gratis," demikian petunjuk teman.
"By pass? Jalan apa itu?" kebingungan Rendy membengkak sampai volume paling maksimal. Tetapi Rendy punya prinsip dan tekad baja.
"Saya harus berangkat," katanya. "Saya peserta satu-satunya dari Lombok Utara."
Rendi memutuskan menggunakan transportasi laut. Dari rumah Rendy berangkat dengan taksi. Berdasarkan argo dia harus bayar Rp 98.200. Saat berangkat Rendy ketemu masalah. Sepatu satu-satunya yang dijemur basah karena hujan. Dalam perjalanan dari rumah ke Lembar, Rendy membeli sepatu for for 95 rb.
"Harga itu cukup nyaman di kaki saya. Sudah termasuk kaos kaki. Tetapi sisa anggaran perjalanan berkurang," aku Rendy sambil membeli sepatunya yang masih mengkilap.
"Di pelabuhan turunkan saya di tempat pelayanan Rafid test,"
Rendy masih diliputi kekuatiran dengan dana yang ada di kantongnya saat tiba di pelabuhan.
"Kalau harga tiket pesawat sampai 500 rb, berarti tiket feri bisa setengah dari itu atau lebih sedikit," bathinnya saat turun dari taxi menuju tempat colokan Rafid tes.
Setelah tes rapid Randy menghampiri loket untuk membeli tiket.
"57.500 Pak," kata petugas sambil tiket menyerahkan selembar kertas.
"Berapa?" dada Rendy berdegup kencang tak percaya bak Majnun mendapatkan respons cinta Layla.
"Benarkah? 57 dari?" Rendy masih tidak yakin dan berusaha menggugat jawaban pasti karena kuatir gangguan pendengarannya.
"Lima puluh tujuh lima ratus rupiah," ulang perugas tiket dengan sedikit tinggi tetapi pelan agar Rendy mendengarnya dengan jelas.
Rendy hampir bersorak mendengar harga tiket itu.
"Alhamdulillah," Rendy nyaris menitikan kristal bening di sudut mata sambil melafalkan kalimat syukur.
Di atas kapal feri yang ditumpanginya, Rendy masih dirundung bingung menggunung.
"Di padang Bae nanti mau ke mana dan naik kendaraan apa?" pertanyaan itu terus berulang dalam pikirnannya.
Rendy mondar-mandir dalam melihat-lihat feri mungkin ada yang dikenalnya. Dia juga terus memperhatikan mobil angkutan barang di lantai bawah seperti truk yang bisa ditumpanginya sampai tujuan berdasarkan cerita teman-temannya. Rendy melepaskan pandangannya pada hamparan laut, debur ombak, pada lumba-lumba yang mengarah-lompat mengiringi laju kapalnya, dan pada kepakan sayap camar di atas birunya laut. Pandangannya juga menyapu lengkung langit dan awan berarak. Rendy berharap ada bentangan jawaban di sana.
Sepanjang perjalanan laut Rendy berharap dalam doa yang diyakini sangat makbul agar sampai. terus Randy membuka pesan WA sambil berfikir kelanjutan perjalanannya.
Dalam WAG sekolah, beragam celoteh rekan-rekan di sekolah yang membahas tentang diri dan perjalanannya.
"Lumayan juga uang yang diterima Pak Rendy."
"Transport dan honor bimtek Denpasar, hadiah dari Pak Ganjar, operator transport, honor kegiatan, belum lagi insentif dari BAZNAS. Kalau ditotal bisa mencapai 3 jutaan."
"Horeeee! Dapat hadiah daster satu satu dari pak Rendy." demikian pesan WAG seorang Ibu guru.
Cekrek. Randy memotret tanda bukti biaya perjalanannya dan mengirimkan gambarnya ke wa. Totalnya sdh di angka 500 kreasi.
"Astaga naga.... Uangnya cukup sampai tujuan pak Randy?" tulis ibu guru yang berharap dapat oleh-oleh daster dengan emoji nangis banjir air mata.
"Mau tidak mau harus cukup," balas Randy dengan emoji tangan terkepal tanda optimis. Randy menyudahi obrolan wa.
"Ke mana Dik," tanya Rendy setelah menutup obrolan dan melihat seorang remaja yang diyakini dari Lombok menjelang berlabuh di Padang Bae.
"Ke Denpasar."
Rendy sedikit lega.
"Denpasar mana?"
"Sanur."
Bagai seseorang pulih dari asma, dada Rendy selega lapangan bola mendengar kata Sanur.
"Nah ini orang yang saya cari," batin Rendy hampir memeluk remaja itu.
"Naik apa?"
"Truk sampai Denpasar. Nanti di sana ada yang jemput."
Hati Rendy yang membuncah tenang tenang, setenang syuhada menghadapi kematian.
Bersama remaja itu Randy melanjutkan perjalanan darat menuju Denpasar. Luar biasanya, Rendy malah dapat tumpangan portuner yang mengantarnya sampai pelataran hotel. Sebagai rasa terima kasih Rendy merogoh kantongnya dan menarik selembar kertas merah untuk sang pengantar. Uang itu sempat ditolak tetapi Rendy seseorang yang memiliki mental gratisan. Rendy menjejali saku pengemudi itu dengan kertas berharga berbeda dengan celananya.
"Tidak percuma Pak Rendy dianugerahi wajah memelas. Salah satu hikmahnya kita bisa ngopi dan ngudut di sini," saya menyela ceritanya dengan berseloroh.
masalah belum selesai. Di depan hotel Rendy diminta check in online dengan membuka aplikasi peduli lindungi. Sementara memori hape bututnya penting kecil untuk menampung aplikasi pencegah covid itu. Belum lagi tipe hapenya tidak mendukung untuk dipasang aplikasi baru.
"Aplikasi apa itu? Saya tidak ngerti," Rendy menjelaskan ketidaktahuannya kepada petugas check in.
"Terus bagaimana bisa Bapak lolos di bandara?"
"Saya juga tidak tahu. Saya keluar dari bandara begitu saja. Tidak ada yang bertanya. Saya melihat orang masuk saya ikut masuk."
Petugas polisi perempuan di manggut-manggut mendengar penjelasan Rendy. menemukan wajah memelas dan pasi Rendy akibat penat dan lapar setelah menempuh perjalanan darat dan laut membuat petugas check in percaya.
"Berarti petugas di bandara itu orang-orang baik yang memberikan kesempatan baik seperti Bapak untuk ikut bimtek di hotel ini. Kalau begitu saya ingin menjadi orang baik. Silakan Bapak masuk dan mendaftar kamar," Rendy dipersilahkan menuju lobi untuk tanda tangan dan mdngambil kartu hotel.
Pendaftaran belum selesai. Peserta harus menyerahkan nomor dokumen kepada panitia bimtek berupa SPPD, surat tugas dari dinas terkait, hasil rapid tes, sampai boarding pass dan bukti perjalanan lainnya. Sebagai peserta lain, Rendy juga diminta untuk mendaftar secara online yang disiapkan pihak panitia dengan mengisi biaya perjalanannya.
Persoalan baru muncul lagi. Hape tidak mendukung registrasi online. Ternyata panitia memberikan kebijakan untuk Rendy. Dia boleh registrasi manual.
Saat ini rincian biaya perjalanan tangan Rendy terhenti. Randy hanya memiliki bukti tiket kapal, bukti bayar taksi, dan biaya cepat. Kalau ditotal hanya mencapai 250 perolehan. Sampai di sini Rendy memeras pikiran.
Bagaimana ini? Bukti pengeluaran hanya 250 ribuan. Biaya perjalanan yang bisa dibuktikan dengan tiket kapal dan taksi. Cuma 150. Kalau dikalikan 2 sekitar 300 rb. Tidak sampai 400 apalagi 500 rb. Biaya apalagi yang harus dicantumkan? Minimal bisa naik pesawat dan beli oleh-oleh untuk anak-anak dan teman-teman di sekolah."
Rendy garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Pandangannya menyapu seluruh ruangan seolah menemukan jawaban pada lukisan di dinding, pada tangga hotel, dan pintu lift. Dalam kegalauan itu Rendy dapat ide. Biaya tiket kapalnya ditambah angka 1 tersedia sehingga berubah dari 57 jumlah menjadi 157 ribu.
Rendy menceritakan pengalamannya dengan runut. Semua pendengarnya seolah larut dalam alur cerita yang dinamis. Kisah perjalanannya mempermainkan emosi saya dan semua kumpulan pengobrol malam pertama di lokasi bimtek.
Rendy bagi saya adalah pribadi yang penuh pengabdian. Saya yakin Rendah Hadi adalah guru yang dirindukan tidak saja oleh siswanya tetapi semua orang yang dekat dengannya. Saya percaya Rendy adalah sosok sentral di sekolahnya. Dia bukan kepala sekolah tetapi gaya bicaranya, sikap, dan gaya berfikirnya menggambarkan sosok yang bekerja dengan ikhlas dan memiliki integritas yang patut dijadikan teladan oleh kita semua.
Tetap semangat Pak Rendy. Bagi saya anda adalah peserta bimtek terbaik dalam kesempatan ini.
Prime Plaza hotel Sanur, 28 November 2021
Mantap
BalasHapus