![]() |
Dokpri |
Kamis, 16 November 2022, saya menghadiri rapat Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Terara, Lombok Timur. Salah satu agenda pembahasan dalam rapat tersebut adalah pelaksanaan Penilaian Akhir Semester (PAS). Menjelang pelaksanaannya, PAS selalu saja menjadi perdebatan dan polemik yang tidak pernah usai. Permasalahan yang diperdebatkan selalu berkutat pada siapa yang menyusun soal, tim yang akan melakukan penyuntingan soal, bagaimana menggandakannya, jasa percetakan mana yang akan ditunjuk menggandakannya, sampai teknis pengawasan pelaksanaan penilaiannya.
Jika kembali kepada tugas pokok dan fungsi guru, perdebatan tersebut seharusnya sudah final. Dalam Permendikbud nomor 15 tahun 2018 jelas termaktub bahwa guru memiliki kewajiban untuk:
a) merencanakan pembelajaran atau pembimbingan, b) melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan, c). menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan, d) membimbing dan melatih peserta didik, dan, e) melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai beban kerja guru.
Salah satu tugas yang tidak perlu diperdebatkan lagi dalam peraturan tersebut adalah penilaian pembelajaran. Tugas ini merupakan tugas yang terintegral dengan tugas guru sebagai pemimpin dan manajer pembelajaran.
Penilaian pembelajaran adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Pengumpulan informasi tersebut dilakukan melalui berbagai teknik penilaian, menggunakan berbagai instrumen, dan berasal dari berbagai sumber.
Pengertian penilaian pembelajaran di atas mengisyaratkan bahwa dalam melakukan penilaian pembelajaran guru harus menentukan teknik penilaian, membuat alat ukur atau menyusun soal, dan menganalisis hasil penilaian.
Akan tetapi, dalam prakteknya terjadi kesepakatan yang berbeda. Setiap kali pelaksanaan penilaian, penyusunan soal selalu dilakukan oleh sebuah tim yang dianggap memiliki kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tim ini diklaim memiliki pemahaman yang cukup untuk membuat soal-soal yang sesuai dengan kaidah penyusunan soal yang berlaku.
Kesepakatan ini pada didasari oleh sejumlah argumen yang bersifat purba dan selalu menjadi dasar kesepakatan.
Berdasarkan catatan saya argumen itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat yang sama, saya mencoba menyertainya tanggapan kritis dalam rangka mencari titik temu terhadap permasalahan penilaian.
Pertama, penilaian harus mampu mengukur kemampuan siswa secara keseluruhan. Argumen ini mengharuskan adanya parameter penilaian yang bersifat universal untuk menentukan kualitas hasil pembelajaran siswa pada wilayah tertentu, misalnya, tingkat kecamatan. Parameter itu berupa soal-soal yang bersifat seragam pada setiap sekolah.
Argumen ini perlu diluruskan. Harus disadari bahwa prinsip keseragaman dalam pembelajaran sudah harus ditinggalkan. Setiap sekolah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kemajuan belajar setiap sekolah tidak selalu sama. Jika penilaian pembelajaran menggunakan alat ukur yang sama tentu tidak relevan.
Kurikulum merdeka mengisyaratkan bahwa pembelajaran harus memperhatikan karakteristik peserta didik, seperti, kemampuan, kebiasaan belajar, sampai lingkungan sekolah. Seharusnya ada kesepahaman bahwa perkembangan belajar siswa di setiap sekolah berbeda-beda. Hal ini harus diterima sebagai sebuah realitas. Oleh karena itu, melakukan penilaian dengan menggunakan instrumen yang sama pada setiap sekolah perlu dipertimbangkan.
Hal lain yang tidak kalah penting dalam penilaian adalah prinsip keadilan. Saat penilaian dilakukan dengan alat ukur yang sama, pada saat yang sama, penilaian seperti ini sebenarnya telah mengabaikan prinsip keadilan.
Ke dua, ada anggapan bahwa terdapat kecenderungan dimana kemampuan guru menyusun soal penilaian masih sangat rendah. Sebagian besar guru tidak memiliki pemahaman yang cukup untuk membuat soal-soal yang dipersyaratkan.
Anggapan ini seharusnya menjadi bahan refleksi semua pihak bahwa kurangnya kemampuan guru menyusun soal penilaian karena guru tidak pernah diberikan kepercayaan untuk menyusun soal sendiri. Sejauh ini tugas penilaian itu telah diambil alih oleh sekelompok orang atas alasan yang kurang relevan. Hal ini tentu saja akan membuat guru kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri.
Hal lain yang penting untuk dijadikan bahan refleksi adalah pentingnya pengembangan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan. Jika guru dianggap kurang mampu menyusun soal penilaian seharus hal ini menjadi sasaran pengembangan oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Fungsi pembinaan dan pengembangan oleh organisasi profesi dan pemangku kepentingan seharusnya dapat memberikan sentuhan terhadap aspek-aspek yang memerlukan pembenahan.
Sudah saatnya semua pihak bahu membahu memperbaiki kekurangan. Kemajuan pendidikan tidak dapat dicapai dengan saling menyalahkan. Semua elemen mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Ke tiga, penyusunan dan penggandaan soal yang dilakukan oleh guru pada masing-masing sekolah membutuhkan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan penyusunan oleh sebuah tim dan penggandaan soal dilakukan secara kolektif.
Jika berbicara soal biaya memang penting untuk menempatkan efisiensi. Namun, dalam sudut pandang yang berbeda gagasan ini dapat direduksi. Ada hal yang lebih penting dari faktor pembiayaan yaitu pengembangan kemampuan guru dan prinsip keadilan dalam penilaian pembelajaran.
Semango, 19 November 22